Tarian Kate

‘Minggir, Jim!’ bentak Kate pada Jim yang mendatanginya.

Saat itu mereka bersiap untuk berlatih menari. Kegiatan yang mereka lakukan sepulang sekolah. Lumayan, jika biasanya sepulang sekolah mereka nongkrong di taman, sambil mengisap rokok dan bir yang dibeli dengan sembunyi-sembunyi, kini mereka menghabiskan waktu di rumah penampungan ini.

Yah, rumah penampungan, begitu penduduk desa menyebutnya.

Isinya adalah para remaja yang bermasalah, sekali lagi, begitu penduduk desa menuduh remaja macam Kate dan Jim. Mereka dikumpulkan oleh Marry, seorang perawan tua. Itupun, berasal dari cibir mereka yang tidak melakukan apa-apa, namun selalu menyindir apapun yang berkaitan dengan remaja-remaja tersebut.

Kate dan Jim ditemukan oleh Marry, tiga minggu yang lalu. Sulit pada awalnya menggiring kelompok mereka, untuk datang ke rumah penampungan setiap hari, sepulang sekolah. Namun lama-lama mereka merasakan asyiknya menggoyangkan tubuh di bawah arahan Marry, yang ternyata meski telah berumur, tubuhnya lentur bak seorang penari.

Sudah bukan rahasia lagi, Jim naksir Kate. Sayangnya, dan itu disadari Kate, mereka tak seimbang. Jim bertubuh besar, dengan berat hampir satu kuintal, sedang Kate tubuhnya cenderung mungil dan langsing. Kate adalah remaja tercantik di rumah penampungan ini, sedang Jim lebih mirip tukang pukulnya. Pipinya menutupi sebagian besar wajahnya, sehingga ia lebih mirip anjing puddle dengan hidung peseknya.

Namun Jim tetap gigih mendekati Kate, dan itu yang membuat Kate kesal. Menurutnya, pendekatan Jim lebih mirip gangguan baginya, daripada sanjungan atas kecantikannya. Sayangnya, Marry memasangkan Kate dan Jim sebagai penari utama, sedang yang lain sebagai penari latarnya. Sudah cukup saat latihan saja mereka berdekatan, begitu menurut Kate, dan menolak seluruh ajakan Jim untuk pulang bersama.

Hari ini berbeda.

Di tengah-tengah latihan mereka, tiba-tiba Marry memperkenalkan mereka pada seorang pria muda, dengan mata dan wajah yang ceria. Tom namanya. Konon ia sedang membuat film dokumenter tentang aksi sosial yang dilakukan atas swadaya masyarakat. Karena itu ada seorang cameraman yang merekam semua yang dilihat dan diwawancara oleh Tom.

Sejak pertama bertemu, Kate telah terpesona pada Tom.

Mungkin Tom seorang mahasiswa, begitu pikir Kate. Ia nampak begitu bersahaja dengan kemeja kotak-kotaknya, celana jins, dan sepatu semi bootsnya. Wajahnya bersih, dan rambutnya tercukur rapi. Kate masih saja memandangnya, ketika Marry meminta mereka menari untuk direkam sang cameraman.

Dengan lebih bersemangat, kini Kate menari bersama Jim, dengan diikuti teman-temannya. Gerakan yang telah dilatih Marry telah mereka hapalkan, dan dengan mudah mereka peragakan. Tom tertawa dan bertepuk tangan, ketika tarian tersebut berakhir.

‘Hebat! Hebat! Aku kagum dengan cara kalian menari! Bisakah kalian mengajariku? Aku ingin mahir seperti kalian!’ katanya memohon. Marry kemudian menunjuk Kate, untuk mengajari Tom gerakan-gerakan dasar.

‘Halo, aku Kate,’ sapa Kate sambil menyalami Tom. Digenggamnya tangan pria yang membalasnya dengan senyuman. ‘Halo Kate. Sekarang, kau menjadi instrukturku ya!’ katanya ceria.

Kate mengajarkan beberapa gerakan. Dengan kaku Tom mengikutinya. Derai tawa mewarnai sesi latihan mereka. Teman-teman Kate juga ikut mengajari Tom, sehingga Tom makin bersemangat berlatihnya.

‘Lihat, Tom!’ seru Kate pada Tom. ‘Pertama, bahu, bahu, tangan kanan, kiri, berhenti, dan berbalik,’ katanya sambil mencontohkan gerakannya. Tom mengangguk-angguk. ‘Bahu, bahu, kiri, eh kanan, kiri, berhentiii…dan berbalik! Begitu kan Kate?’ tanyanya sambil meniru gerakan Kate. Kate bertepuk tangan sebagai jawabnya.

Akhirnya, Marry memutarkan musik pengiringnya, dan mereka bersama menari dengan Tom. Tom akhirnya bisa mengikuti gerakan mereka semua, dan ia tertawa-tawa gembira di tengah kumpulan para remaja tersebut.

Saat selesai berganti baju dan akan pulang ke rumah, Tom telah menunggu Kate. Antara gembira dan cemas, Kate menyambut ajakan Tom untuk makan malam yang disertai dengan wawancara. ‘Tapi tanpa cameraman,’ pinta Kate tegas. Ia tak mau hasil wawancara itu akan menyulitkan ia pada akhirnya. Semua harus disamarkan, begitu prinsipnya.

Tom menyanggupi. Mereka menuju sebuah kedai, dan sang cameraman menikmati makan malamnya terpisah dari sofa tempat Tom dan Kate berada.

‘Kate, kau kan tahu apa tujuan keberadaanku di sini,’ tanya Tom hati-hati. Kate mengangguk ‘Aku hanya ingin tahu, kenapa…kau tak langsung pulang ke rumah, dan malah terlibat dengan hal-hal negatif, sebelum kau bertemu Marry?’ Kate memandang mata Tom. Wajahnya menyiratkan keraguan. Meski ia menyukai Tom, tapi sulit baginya untuk menceritakan masalah pribadinya.

‘Mungkin aku bisa membantumu,’ kata Tom pelan. Digenggamnya tangan Kate dengan hangat. Menguatkan Kate untuk menceritakan, mungkin sisi tergelap dalam hidupnya. Dan mulailah mengalir cerita tentang ayahnya yang pergi begitu saja, ibunya yang kecanduan alkohol, dan masalah di sekolah terkait kenakalannya terhadap guru sainsnya. Kate tak betah berada dimanapun, namun ia merasa diterima di dalam pergaulan remaja sebayanya. Sehingga ia pun terseret pada gaya hidup yang serba seenaknya.

Lalu kemudian datang Marry, yang jarang memberikan nasehat atau teguran apapun padanya, namun memberikannya rumah kedua, dimana ia merasa diterima, dan kemudian diperkenalkan pada hal yang disukainya. Menari, sekaligus menghilangkan keresahan dalam jiwanya. Kate jadi punya tempat singgah, banyak teman, dan Marry yang siap mendengarkan keluh kesahnya.

‘Kau beruntung, bisa bertemu orang seperti Marry,’ kata Tom tulus. Sebenarnya keberuntungan keduaku, adalah saat bertemu kau, Tom. Begitu kata Kate dalam hati, sambil berusaha meredakan degup jantungnya, saat Tom menggenggamnya lebih erat.

Dan hari-hari Kate memang makin ceria, dengan harapan pergi ke rumah penampungan untuk bertemu Tom. Tidak tiap hari Tom datang, karena konon ia pergi juga ke lembaga-lembaga sosial yang ada di desa tersebut. Satu hari Kate mendengar Tom sedang di panti wredha, kali lain ia mengunjungi rumah Nyonya Jones yang hidup berdua dengan anaknya yang hidup di kursi roda. Banyak hal, dan syukurlah Tom selalu menyempatkan hadir meski hanya sebentar, setiap dua hari sekali.

Apakah Tom rindu padaku, demikian Kate bertanya selalu. Sejak makan malam mereka yang terakhir, Kate masih terkenang saat ia dan Tom menyusuri jalan yang temaram, menuju rumah Kate yang terletak di pinggir desa. Tom pria yang sopan, ia tak pernah dengan sengaja memanfaatkan kedekatan mereka. Nampaknya ia cukup terpelajar, pengetahuannya banyak, dan ia tak mentang-mentang saat memberitahukan Kate tentang sesuatu yang Kate ingin tahu. ‘Pertanyaan yang cerdas,’ begitu puji Tom yang membuat Kate tersipu.

Kate hanya berharap, Tom akan menari bersamanya lagi. Itulah saatnya ia dan Tom bisa berdekatan dan bersentuhan, tanpa khawatir menjadi omongan. Menari adalah cara Kate untuk mendekatkan diri. Meski ia menjadi sangat tak bersemangat, ketika lagi-lagi Jim yang disandingkan dengannya.

Sudah dua minggu, dan hubungan Kate dan Tom tak bergerak kemana-mana. Hanya kesempatan melihat Tom yang mengamatinya saat latihan, melambaikan tangan pada Tom yang berdiri di pinggir ruangan, dan menjabat tangannya saat pulang. Tak ada lagi tawaran dari Tom untuk mengantarnya ke rumah.

Hari ini, sesi latihan berlangsung lambat, begitu menurut perasaan Kate. Ia ingin sesi ini segera berakhir, dan menemui Tom, untuk mengungkapkan perasaannya pada Tom. Bagaimanapun, Tom harus tahu bahwa Kate menyukainya. Mungkin selama ini Tom malu mengungkapkannya. Ia harus membantu Tom agar lebih nyaman saat bersama dirinya. Kalau perlu, ia akan menemani Tom dalam misinya, mengumpulkan data tentang aksi sosial dalam masyarakat.

‘Bisakah kalian berkumpul sebentar?’ teriak Marry ketika mereka sedang sesi istirahat. Kate berlari kecil saat mendekati Marry di pinggir ruangan, karena ia melihat Tom dan sang cameraman menyertai Marry. Tom tersenyum saat melihat Kate, dan Kate membalasnya. Nanti ya Tom, habis ini, akan kuberitahu kau sesuatu, pikir Kate gembira.

‘Kalian tentu sudah kenal Tom,’ begitu Marry mengawali. ‘Pagi ini Tom menemuiku, untuk memberitahu sesuatu. Ia sebenarnya bukan seorang mahasiswa yang sedang mencari data.’ Semua orang bergumam, tak terkecuali Kate yang menatap Tom tak mengerti. Tom? Berbohong? Apa yang ia lakukan selama ini?

‘Sebenarnya, Tom adalah seorang jutawan. Ia disini sedang melakukan penyamaran untuk sebah program televisi, yang berusaha mencari tahu kegiatan-kegiatan apa yang perlu dibantu,’ sambung Marry dengan gembira. Matanya nampak berkaca-kaca saat mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. ‘Dan Tom memberikan kita ini. Satu lembar cek, bernilai…sepuluh ribu dollar!’ Terdengar pekikan dimana-mana. Semua saling berpelukan dengan gembira. Hanya Kate yang menatap Tom dengan tidak percaya.

‘Terima kasih ya Tom, kau telah menghargai kerja kami. Kami memang memerlukan dana ini, karena sesungguhnya sungguh berat bagiku mengoperasikan semua aktivitas sosial ini. Salah satu kecemasanku, yang tidak pernah kuungkapkan pada yang lain adalah, tahun depan kami terancam harus pergi dari rumah ini, karena kami tak sanggup membayar sewanya. Tapi dengan bantuanmu, kami bisa bernapas lega. Uangmu juga bisa kami gunakan untuk kegiatan yang dapat mendatangkan laba, agar kami tidak perlu menggantungkan diri pada sumbangan,’ Marry menjelaskan penuh haru.

Tom tersenyum. Wajahnya nampak makin bersinar. ‘Tak perlu berterima kasih, Marry. Akulah yang harusnya berterima kasih padamu. Tanpamu, remaja-remaja ini tidak dapat menyalurkan jiwa muda mereka dengan positif. Begitu kan, Kate?’ kata Tom sambil melirik Kate. Kate tak menjawabnya.

Lalu, Marry meminta mereka menarikan tarian yang selama ini mereka latih, untuk Tom sebagai penghargaan atas sumbangannya. Tom akan kembali ke kehidupan nyatanya, menjalankan perusahaan properti yang sedang naik daun. Mata Kate mulai sembab, membayangkan akan kehilangan Tom. Tom yang ternyata jutawan, dan makin tak tergapai karena mana mungkin ia menjatuhkan pilihan pada gadis seperti Kate, yang miskin dan bermasalah. Tom yang memang mendekatinya untuk mencari tahu tentang rumah penampungan, dan bukan untuk menjalin hubungan dengannya.

‘Kate, tolong ajari aku menari ya,’ pinta Tom pada Kate. Tanpa menanti jawaban Kate, Tom sudah menggenggam tangannya, mengambil posisi sebagai pasangan menari Kate. Kate memandang Tom, yang sedang memandangnya sambil tersenyum. Ah, malaikat yang sedang mengunjungi bumi rupanya. Dan mungkin yang bisa Kate lakukan, memberikan tarian terindah untuknya.

pinterest.com
pinterest.com

 

***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com
Inspirasi : The Secret Millionaire

2 comments

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s