Lisa cerita punya banyak sepatu.
Wuah, tanggapannya wow!
Ada yang bilang di tengah-tengah ibu-ibu yang berjuang karena susah cari makan, sepatu Lisa malah lebih dari satu pasang. Kenapa sih, sepatu ngga cukup satu aja, trus uangnya dikasih buat ibu-ibu itu, yang Lisa juga ngga kenal dia ada dimana, perjuangannya seperti apa, karena semua rekaan belaka. Fotonya aja dipinjam entah dari mana, dengan kisah yang belum tentu tentang kesengsaraan. Yang pasti, wajahnya cukup memelas, memancing simpati orang yang melihatnya.
Lalu muncul suara-suara lain, bahwa Lisa adalah ibu yang tidak peka lingkungan. Trus kerjanya morotin duit suaminya, untuk penampilan saja. Suaminya sampai pontang panting kerja supaya bisa biayain dia, dengan sepatu-sepatunya.
Lisa bengong dong.
Persia seperti gosip ibu-ibu di arisan, pergunjingan ini mendengung bagai lebah di taman. Mending hasil mendengung itu adalah madu yang manis, hasilnya malah sengat yang tajam.
Lisa punya alasan kenapa melakukannya. Pertama, dia kerja untuk bisa menambah pendapatan keluarga. Pekerjaan menuntut penampilan yang oke, mana enak ketemu klien dengan penampilan amburadul. Sepatu, adalah salah satu ikon fashion yang ia suka. Baju dan tas, dia menahan diri pakai yang itu-itu saja. Tapi untuk sepatu, ia akan berusaha bisa nabung, supaya bisa beli sepatu beraneka warna dan model. Merk tidak penting, yang penting nyaman di kaki.
Lah, uang ya uang dia, gaji ya gaji dia. Kecuali uangnya pake uang orang lain, wajar kalau diprotes. Ngga menghidupi, tapi ingin ngatur kehidupan orang, nah ini yang hebat. Lisa sudah mengatur mana yang bisa ia belanjakan, mana yang untuk keluarga, dan mana yang ia tabung. Jika pendapatannya bisa untuk semua hal itu, kenapa repot dengan sepatu-sepatunya?
Kedua, sepatu menjadi benda yang cepat rusak di kakinya. Entah karena jalannya yang grasa grusu, atau beli sepatu murah-murah sehingga kualitas ngga begitu bagus. Terpaksalah ia ganti berulang kali, kesempatan mungkin pikirnya, sekalian ganti model dan warna. Jadi sepatu bukan hanya keinginan (want) namun juga kebutuhan (need).
Ketiga, suaminya juga mengijinkan kok. Meski itu uangnya sendiri, tetap saja ijin suami diperlukan. Itulah cara Lisa menghormati suaminya, meski ia bisa mandiri. Mungkin suaminya berpikir, inilah salah satu cara menyenangkan Lisa, setelah kesibukannya di tempat kerja dan mengurus keluarga. ‘You deserve to get it, honey,’ geto katanya.
Keempat, soal antisosial, yah…memangnya kalau habis nyumbang perlu yah koar-koar dimana-mana? Stok orang susah di negara ini tuh banyak, bukan cuma ibu yang tampangnya dipinjam dimana-mana, untuk menjual kemiskinan. Bantu orang-orang di sekitar Lisa, juga termasuk kegiatan sosial. Dan ngga perlu lah sounding kemana-mana, hanya sebagai penyeimbang dari kegiatan beli-beli sepatunya.
Pernah, ketemu orang seperti ini? Yang kerjanya ngurusin rejeki orang lain, dari sisi dengki?
Apa yang kita ungkapkan di percakapan umum, apalagi di media sosial berbasis internet, memang punya dampak yang luar biasa. Semua bisa jadi salah, menyebar dengan cepatnya, dan berita berkembang sedemikian rupa. Kalau memgungkap kebahagiaan, dianggap pamer. Mengungkap kesedihan, dianggap cari perhatian. Berdoa, dianggap sok alim. Semua dilihat dari sisi si pembaca.
Begitu ada yang punya rejeki, langsung dibilang kenapa ngga disumbang aja? Wah, jadi maunya setiap orang itu hidup sama rasa sama rata, ngga bisa menikmati rejeki hasil kerja kerasnya. Mirip prinsip sosialis, tapi berusahanya seperti kapitalis. Ngga adil dong ah. Dan berani taruhan, jangan-jangan mereka ngomong begitu karena TIDAK pernah berada pada situasi tersebut. Begitu dia kecemplung pada situasi yang sama, bisa gitu melaksanakan nasehatnya sendiri? Pengen tau…:D
Sebenarnya, kalau kita mau ganti kacamata yang judulnya Think Positive, semua akan baik-baik saja dan ngga perlu yang namanya kepo sama urusan orang. Ada yang cerita kebahagiaannya, ya ikut senang. Siapa tahu kecipratan #eh Ada yang cerita kesedihan, ya kalau mau ikut campur, mbok dihibur, bukan malah dijatuhkan. Kalau ada yang berdoa, ikut aminkan saja kalau isi doanya baik.
Ngga perlu repot atur sana atur sini. Semua punya kehidupan sendiri-sendiri, rejeki dan nasib sudah ada yang mengatur, tinggal gimana kita mempergunakannya agar berkat bisa tersalur. Untuk itu, ngga perlu juga koar-koar dimana-mana, wong semua cuma titipan kok 🙂
***
IndriHapsari
ya bener Mbak… kenapa ya orang make duit duitnya sendiri kok masih aja ada orang yang repot dan ngurusin..
He-eh mbak Andani, tulisan ini jg ngingetin diri sendiri utk ngga cepat menilai seseorang hanya dari perkataannya 🙂 Trims ya 🙂
yak sepakat!
Emang perlu ya seluruh dunia tau apa yang udah kita lakuin atau berikan ke orang lain?
Kalau jaman dulu, tangan kanan memberi, kiri jangan sampai tau. Atau skrg udah ganti? Kanan memberi kiri selfie, biar yg lain ngeliat dan memuji? Eeaaa…
Wong ndelok iku kendel alok mbak, mudah menilai, terutama sisi negatif. Lagian mereka itu keplok ora tombok, artinya modal koar-koar doang gk mikir resiko, gak pusing pengadaannya. Jadi cuekin!
Eh soal sepatu, keknya saya tau itu koleksi siapa, ekekekek
Ups, ketauan ya? Hihihi 😀
Ya itu Val, liat aja mrk yg teriak2 anti korupsi, jgn2 buas krn belum dpt bagian aja. BEgitu kecemplung disana, ya melakukan juga. Makanya yg penting itu pengendalian diri, sm mulut juga 😛
Setuju banget, semua cuma titipan. Jangan bangga kalau bisa memberi karena sebetulnya yg kita berikan adalah rejeki mereka, kita cuma perantara. Dan siapa tau rejekinya pedagang sepatu ternyata kita juga perantaranya… eh….. 😉
Wkwkwk, contoh sepatu ini mengena banget rupanya 😀 Ya gitu deh mbak, jgn suka sotoy menilai org dr luarnya ^_^ Makasih yaaa…
Bener banget dan setuju banget Mba Indri. Orang tidak bisa melihat apa yang ditampilkan di dalam dan tidak semua seperti apa yang terlihat. Setiap orang menghadai pertarungannya sendiri-sendiri kan ya Mba. Ga usah dibanding-bandingkan..:)
He-eh mbak, masih berhubungan dgn yang kemarin sih, jgn maksa makein sepatu kita ke orang lain. Trims pak Dani 🙂
terkadang kalau lihat sesuatu yg dimiliki orang lain, termasuk sepatu, kita memang sering bertindak “jump to conclusion”. kurang punya data dan info yg lengkap, tapi langsung menyimpulkan sekehendak hati.
kalaupun datanya sudah lengkap, apa juga manfaat dan urgensinya menyebarkan ke orang lain? 🙂
Pemikiran kita akan mempengaruhi penilaian kita pd orang lain Pak Yudhi, itu sebabnya ada yg sotoy gitu.,hehehe 😀