Juwet

20140211-194013.jpg

Kata orang, nama adalah harapan orang tua.

Menurutku, ada kisah di balik pemberian sebuah nama.

Terutama…namaku.

*

‘Waktu itu hampir maghrib,’ kata Ibu memulai ceritanya. Aku duduk di sebelahnya, menghirup teh manis yang Beliau sediakan. Itu enaknya pulang, selalu ada Ibu yang menyambutku datang, menyediakan makanan yang enak-enak, minuman hangat, dan tentu, cerita yang makin lama makin menarik. Tentang jaman dulu, tentang asalku, dan kisah-kisah yang tak pernah diceritakan padaku.

‘Ibu sedang mengandung kamu. Kuliah sudah usai. Ibu bereskan semua laporan yang dikumpulkan mahasiswa. Saat Ibu minum air  mineral yang disediakan di meja, baru Ibu ingat, sedang sariawan. Karena itu Ibu keluar, mencari Mbak Marni. Mbak Marni itu cleaning service gedung T, tempat Ibu mengajar.’

Aku manggut-manggut sambil mengunyah singkong gorengku.

‘Ibu cari-cari dia, tidak ada. Di luar sudah hampir gelap, dan tidak ada seorang pun disana. Mahasiswa sudah pulang semua, kuliah juga sudah dari tadi berakhir di kelas lainnya. Ibu yang terakhir ada di gedung itu.’

Aku menghirup lagi tehku. Ahhh….hangaaat….

‘Lalu Ibu dengar suara di kamar mandi. Sepertinya suara orang yang sedang menyikat kamar mandi. Ibu datangi sambil memanggil-manggil…Marni… Marni…Suara itu berhenti. Lalu Marni keluar dari salah satu bilik kamar mandi.

Ada apa Bu Lastri?

Begitu katanya. Ibu bilang saja, Ibu ingin buah juwet. Soalnya sedang saria…’

Sampai disitu cerita Ibu kupotong. ‘Apa hubungannya juwet dengan sariawan Bu?’ tanyaku ingin tahu.

‘Buah juwet itu, antioksidannya tinggi, terutama yang sudah matang, yang berwarna ungu. Memang sih, harganya sangat murah, sehingga orang segan menanamnya. Namun di kampus masih ada, karena pohonnya yang tinggi, mampu menjadi peneduh di siang hari.’

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ibu.

‘Meskipun bukan tugasnya, tapi Marni berangkat juga ke halaman belakang.  Mungkin ia kasihan, menyangka Ibu sedang ngidam. Sehingga ia meninggalkan tugasnya, dan bergegas ke sana.

Ibu kembali ke kelas, membereskan laporan, membuat catatan untuk minggu depan, mematikan LCD dan komputer. Semua Ibu lakukan sambil menunggu Marni datang.

Tapi Ibu tunggu-tunggu, hingga setengah jam kemudian, Marni tidak muncul juga. Ibu ambil tas Ibu dan bergegas keluar. Pintu kelas Ibu kunci. Ibu mau memeriksa Marni, kenapa ia jadi selama ini. Padahal yang ia lakukan hanya mengumpulkan buah juwet yang jatuh di halaman.

Lalu Ibu bergegas di belakang. Hari sudah gelap. Marni tidak ada di kamar mandi. Karena itu Ibu ke halaman belakang. Dan…kau tahu Marni sedang apa?’ tanya Ibu padaku.

‘Memakan buah juwetnya?’ jawabku asal.

Ibu menggeleng. Matanya menyipit. ‘Ia berdiri saja di dinding, dengan rambut acak-acakan. Kau tahu, seorang CS harus rapi saat bekerja. Dan saat itu bayangan Marni…sungguh aneh. Rambutnya nampak berantakan.

Saat Ibu dekati, matanya…matanya! Putih semua…’

Singkong gorengku jatuh dari genggaman. Mulutku ternganga.

‘Iya, putih semua!’ desis Ibu. ‘Ia tak berkata apa-apa, tapi bibirnya bergerak terus. Waktu Ibu panggil ia tak membalas. Ibu tak bisa menebak ia sedang melihat apa. Saat Ibu sentuh bahunya, badannya mengejang. Kemudian…

ia tergelepar!’

Aku mulai menelan ludahku.

‘Ibu panik! Marni kesurupan! Bergegas Ibu ke pos satpam, satu-satunya tempat yang Ibu tahu ada orang. Kalau tidak hamil mungkin Ibu sudah berlari. Tapi ini tidak bisa, kasihan anak Ibu. Maka Ibu berusaha benar sampai di tempat itu dengan cepat, dan berharap Marni tidak menyakiti dirinya sendiri.

Mereka kaget saat Ibu  melaporkan kejadian itu. Perlu waktu untuk mengumpulkan siapa satpam yang mau kesana. Akhirnya seorang satpam muda yang wajahnya nampak takut, dan seorang satpam senior bersedia menemani Ibu ke sana.

Sedang apa Mbak Marni di halaman belakang, Bu?

Begitu tanya satpam yang senior pada Ibu.

Saya suruh mencari buah juwet Pak, jawab Ibu.

Satpam itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kalau siang sih tidak apa Bu. Tapi kalau sore begini, hati-hati. Pohon itu…ada penunggunya!

Ibu kaget mendengar penjelasannya…’

Aku juga! Hiyaaa Ibuuu…malah cerita  begini waktu aku pulang. Tapi seperti cerita horor lainnya, aku penasaran…

‘Ternyata, sebelumnya juga pernah ada kejadian, CS yang kesurupan. Ia juga berkeliaran di sekitar pohon itu saat sore hari. Menggelepar dan awut-awutan juga, persis seperti Marni.

Lalu menyembuhkannya seperti apa ya Pak? tanya Ibu padanya.

Ia menggelengkan kepalanya.

Harus dibawa ke orang pintar Bu, katanya pelan.

Ibu sudah berpikir, bagaimana cara membawa Marni yang sedang kesurupan seperti itu. Katanya kalau orang kesurupan, tenaganya jadi lebih besar. Siapa yang bisa menahannya, apalagi mengantarkannya ke mobil?

Saat kami tiba di sana, Marni masih telentang di lantai. Miris sekali melihatnya. Marni yang begitu teratur sekarang tidak karuan seperti itu. Kedua satpam itu mendekati Marni. Mereka berusaha menahan tubuhnya agar tak mengejang lagi. Tapi itu hanya membuat ia tidak berubah posisi. Kesurupannya sih tetap.’

Aku menahan napas. ‘Lalu…bagaimana nasib mbak Marni Bu? Bagaimana ia bisa disembuhkan?’

‘Untunglah Ibu ingat, selalu membawa Antimin di tas. Maklum, Ibu suka mabuk di perjalanan. Efeknya membuat kantuk, dan semoga…bisa melemahkan tenaga Marni.

Setengah tak yakin, para satpam berusaha memasukkan tablet tersebut ke mulutnya. Air mineral yang sudah Ibu minum sebagian di kelas, Ibu bawa ke halaman belakang. Syukurlah akhirnya obat itu masuk juga.’

‘Daaan…?’ tanyaku tak sabar.

‘Kami duduk mengamati Marni yang masih mengejang. Namun setelah itu tenaganya melemah. Akhirnya, ia mulai diam. Matanya mulai memejam. Saat itulah, kedua satpam membopong Marni untuk diletakkan di jok belakang mobil Ibu.

Kedua satpam ikut mengantarkan ke orang pintar. Satpam yang senior yang tahu. Rumahnya cukup jauh. Ayahmu kaget waktu Ibu hubungi, Ibu sedang dalam perjalanan menyelamatkan orang kesurupan. Segera ia menyusul Ibu naik taksi ke rumah orang pintar tersebut, dan mengantarkan Marni, satpam dan Ibu pulang dengan mobil Ibu.’

‘Mbak Marni sembuh Bu?’ tanyaku ingin tahu.

‘Sembuh,’ Ibu mengangguk. ‘Entah pengobatannya seperti apa ya, kedua satpam itu yang menemani. Ibu diminta Ayah tidak masuk ke dalam. Berbahaya buat janinmu, begitu katanya. Ibu menurut saja. Lagian waktu itu, Ibu merasa lelah sekali. Dan tentu merasa bersalah sudah menyebabkan kerepotan seperti ini.

Bukan salahmu, kata Ayah pada Ibu. Bagi yang tak pernah membuka pintu, kita tak pernah tahu bahwa ada mahluk-mahluk itu.’

Aku mengangguk-angguk mendengar petuah Ayah. Almarhum Ayah yang selalu bijak dalam perkataan dan perbuatannya.

‘Lalu, ternyata apa Bu yang menyebabkan mbak Marni kesurupan?’

‘Ibu juga tidak tahu, sampai suatu saat satpam yang senior menyapa Ibu saat baru memasuki halaman kampus.

Ibu mau tahu, kejadiannya seperti apa saat mbak Marni kesurupan? Saya punya videonya Bu.

Ibu tentu penasaran. Maka Ibu ikuti satpam tersebut ke ruang monitor CCTV. Ia kemudian memutar rekaman pada waktu Ibu menyuruh Marni mengambil juwet.

Awalnya hanya terlihat Marni yang sedang memunguti buah juwet yang jatuh. Pohon itu tak terlihat daun-daunnya, karena tingginya lebih dari 10 meter. Lalu pelan-pelan…ada putih-putih muncul dari atas…’

Aku kembali menahan napas. Tanganku mencengkeram erat kursiku.

‘Bajunya berkibar pelan. Rambutnya panjang, acak-acakan. Ibu tak bisa melihat wajahnya, karena ia membelakangi kamera. Namun waktu ia menyamping dan memandang Marni…Ibu bisa melihat wajahnya yang pucat, dan matanya yang menghitam. Bibirnya sama pucatnya. Sepertinya itu…kuntilanak.’

Aku  menjerit ketakutan.

‘Ia terus memandang Marni yang tidak sadar sedang diamati,’ Ibu melanjutkan. ‘Pak satpam juga menunjuk berbagai area di halaman belakang.

Lihat Bu, halaman belakang ini seperti taman bermain saja. Ada anak-anak yang sedang main jungkat-jungkit, ayunan, lompat tali…

Ibu mencoba melihat lebih jelas.

Memang benar! Seperti playground yang kelam. Padahal waktu Ibu kesana… tidak ada apa-apa.

Mungkin merasa terganggu, kuntilanak itu kemudian menyentuh Marni di bahu. Marni mungkin merasa aneh, ia menoleh ke belakang, tapi ia tak melihat si kuntilanak. Setelah itu…dengan terhuyung ia mendekati dinding, tempat Ibu menemukan Marni dalam kondisi tak sadar.’

Aku menghela napas.

‘Jadi…kuntilanak itu mungkin marah karena merasa areanya diusik ya Bu,’ kataku menyimpulkan.

Ibu mengangguk. ‘Ternyata, menurut pak satpam, halaman belakang itu bersebelahan dengan kuburan. Makanya angker.

Mendengar kasus itu, akhirnya yayasan memutuskan untuk menebang pohon juwet itu. Kayunya bagus untuk bangunan, dan halaman belakang kemudian jadi terang, dan tak ada kasus serupa terjadi lagi.’

‘Syukurlah Bu. Aku takut Ibu kenapa-kenapa,’ kataku tulus.

‘Ah, soal kenapa-kenapa…’ kata Ibu melanjutkan, ‘Akhirnya Ibu tak mendapat juwet yang Ibu inginkan. Padahal Ibu ingiiin sekali memakannya. Maka, sebagai pelampiasannya, Ibu buat saja kisah itu sebagai kenangan,’  kata Ibu sambil tersenyum.

‘Dengan cara…?’ kataku berusaha santai. Tanganku sudah mengambil singkong goreng yang dari tadi tak jadi kumakan.

‘Kau pikir, darimana nama Juwita Edwina berasal?’ kata Ibu sambil tersenyum.

Mendadak aku tak lagi lapar.

***

IndriHapsari

Gambar : galengan.wordpress.com

6 comments

  1. Hehe… ceritanya bagus sekali mbak. Saya ingat waktu kecil di Bali suka naik pohon Juwet abis pulang sekolah. Paling meringis kalo makan ada semut hitam di bagian belakang juwet heheh… Sekarang mungkin sudah tidak ada lagi buah ini…

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s