Pukul 05.00.
Surti melirik jam tangan yang setia menemaninya. Tali kulitnya sudah terkelupas, tapi toh masih ia gunakan juga. Saat ini yang penting fungsi, bukan gengsi. Selama jam ini bisa menunjukkan waktu dengan tepat, tanpa perlu ganti baterai berkali-kali, sudah cukup bagi Surti.
Kereta pertama akan datang dalam dua puluh menit. Begitu papan informasi mengatakannya. Stasiun Central tempat ia menunggu nampak sepi. Platform yang berjumlah puluhan itu hanya berisi segelintir orang. Bisa dibagi dua kelompok, mereka yang menikmati hidupnya, dan mereka yang berusaha menciptakan hidup yang nikmat.
Surti masuk kelompok kedua.
Sebagai pekerja imigran, belum menjadi permanent resident, ia tahu harus bekerja lebih keras daripada penduduk lokal. Kalau mereka bekerja sudah seratus persen, maka Surti harus bisa mencapai seratus tiga puluh persen, agar bisa menyamai mereka dan tidak dipandang sebelah mata. Itulah sebabnya, meskipun pekerjaannya hanya sebagai pegawai convenience center, ia bersungguh-sungguh dalam menjalankannya. Pun jika ia mendapat shift malam seperti ini, tak mengapa. Tokopun selalu sudah rapi saat pergantian pegawai, karena Surti menyempatkan diri menata kembali barang-barang di rak, atau menyapu lantai sejenak.
Mereka yang menikmati hidupnya adalah yang baru pulang juga, namun setelah bersenang-senang. Sekelompok anak muda bersandar di bangkunya dengan lemas. Tidak ada lagi tawa ceria di antara mereka, kelihatannya pengaruh minuman keras mulai terasa. Mual dan pusing melanda. Di sudut lain seorang bapak terhuyung memasuki platform. Surti tak habis pikir, bagaimana ia mempertanggungjawabkan hidupnya pada keluarga jika pulang dalam keadaan mabuk seperti itu?
Akhirnya lampu kereta terlihat dari kejauhan. Surti bangkit bersiap hendak memasuki kereta tersebut. Kereta dua tingkat dengan tempat duduk yang saling berhadapan. Ia berencana duduk di dekat pintu, agar mudah keluar.
Surti mendapati bangku-bangku kosong di dalam. Meski tak ada penumpang lain di belakangnya, dengan gesit ia menempati bangku panjang yang paling dekat pintu. Bangku yang biasa digunakan oleh para senior citizen maupun ibu hamil.
Pintu kereta menutup. Surti memasang earphone di telinganya, hendak memilih lagu favorit dari ponselnya. Saat itulah ia melihat, seorang pria sedang tertidur di hadapannya.
Pria itu dengan cueknya menempati seluruh bangku panjang yang ada. Tubuhnya tinggi sehingga satu kakinya harus menekuk di atas bangku, sedang yang lain menjuntai ke samping. Demikian juga dengan tangannya, menyentuh lantai. Sedang tangan lainnya menutupi dahinya, seakan berusaha menghilangkan penat yang ada. Wajahnya sebagian tertutupi oleh tangan, namun Surti masih dapat melihat hidungnya yang mancung dan dagunya yang belum dicukur. Rasanya ia tidur, atau mungkin pingsan. Sama sekali tak bergerak.
Pria itu memakai setelan jas yang bagus, warnanya abu-abu. Kemeja lengan panjang warna biru muda, melekat pas di tubuhnya yang langsing. Dan satu yang membuat Surti tak berhenti untuk melirik, kemejanya tersingkap, sehingga terlihatlah perutnya, putih, dan rata. Seperti kebanyakan orang Australia, mereka banyak melakukan kegiatan di luar, entah dengan skate board, surfing atau jogging. Karena itu tubuh mereka, pria maupun wanitanya nampak fit dan bagus.
Tapi mungkin saja ia mabuk, pikir Surti mengingatkan. Mengagumi mereka yang mabuk, jauh dari pikiran Surti. Mereka yang tak menghargai hidup, menyia-nyiakan orang tercinta, dan membahayakan lingkungan. Ia sudah beberapa kali dicegat dalam perjalanan dari toko ke stasiun, oleh serombongan pemuda mabuk yang beredar. Kali lain, sebuah mobil dengan musik kencang melemparkan minuman kaleng yang sudah kosong ke arahnya. Memangnya eike tempat sampah?? Waktu itu ia menggerutu kesal.
Kali ini, Surti kena batunya. Entah mengapa, ia menikmati pemandangan di depannya. Seorang pria yang terkulai tak berdaya, ternyata bisa sangat menarik juga. Pria yang mungkin kalau sadar akan menebar pesonanya pada gadis-gadis nan jelita. Berusaha menarik perhatian mereka, having fun together, dan selanjutnya…terserah anda. Sesuatu yang bukan Surti banget. Radar sang pria tak akan bisa mendeteksinya.
Surti mendesah atas nasibnya. Ia tahu, saat pria itu bangun, ia tak akan bisa memilikinya. Hello…bangun dong Neng! Ia mengingatkan diri sendiri. Pria yang menarik adalah yang tampan, bertubuh ideal, dan…tak berdaya. Karena begitu mereka sadar, mereka jadi akan sangat menyebalkan, karena minat mereka hanya pada yang wanita dengan penampilan menarik saja, dan itu bukan Surti.
Maka, menyaksikan mahluk indah di depannya, ibarat melihat kristal yang menawan, tanpa boleh ia menyentuhnya, karena tak mampu bayar. Ia teringat saat masuk sebuah toko kristal di Victoria Street untuk menemani bossnya, kristal yang dipajang amatlah menarik. Surti membayangkan satu tentulah cocok diletakkan di meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia bisa memandanginya sepulang kerja, satu-satunya benda cantik yang menghiasi flatnya yang lembab. Namun Surti hanya bisa melihatnya, tidak berani dekat-dekat rak pajangan, karena takut menyenggol dan pecah. Saat itu lembaran uang di dompetnya hanya beberapa lembar, dan itupun rasanya tak cukup untuk membawa sang kristal pulang.
Maka Surti menekan pilihan random sebagai playlist lagu di ponselnya. Ia bersandar di bangkunya, bersidekap, memandangi sang pria kristal, dan tersenyum sambil menikmati setiap detik yang ada.
***
IndriHapsari
Gambar : Ivana Tan
selalu ada sisi indah di tengah himpitan keadaan yg kurang nikmat mungkin, hehehe
Hahaha, sebagai seorang commuter pasti tahu deh ya 🙂
Bagus banget Mba Indri. Jadi bisa merasakan kejadiannya dari sudut pandang surti.
Makasih yah Pak Dani 🙂