Sebenarnya malu aja pake kata cerpenis, secara belum nerbitin buku, belum diterbitkan di media massa dan menang lomba apapun (mmm…ngga ikut juga sih 😛 ), belum dikenal luas, dan kalau ngasih masukan ke karya lain masih dianggap sotoy. Maklum deh, tingkatan saya kan masih rendah, jadi belum dianggap layak untuk kasih saran, apalagi kritik.
Anyway, saya pakai kata cerpenis itu supaya lebih singkat saja. Aslinya kata tersebut mewakili hobi saya untuk menulis fiksi. Khususnya cerpen (the small one, biasanya kurang dari 1000 kata. Kalau di Kompasiana masuk rubrik Cermin alias cerita mini) yang bergenre manis manja grup. Sesekali loncat ke thriller dan horror, tapi jaraang banget.
Kalau di Kompasiana itu, rubrik Fiksiana ibarat pasar. Semua ada, prosa berbagai genre, berbagai teknik penulisan, berbagai tema. Semua bisa diolah menjadi sebuah cerita, yang menarik atau tidak menariknya tergantung selera. Semua penulis ingin karyanya dibaca oleh lebih banyak orang, itu sebabnya pada nongkrong disana.
Karena semua berada pada sisi yang sama, yaitu penulis, tidak bisa dihindarkan adanya persaingan untuk meraih lebih banyak jumlah pembaca, jumlah komen, maupun jumlah vote. Agak menipu juga sih, karena jumlah pembaca banyak bisa saja dari judul yang bombastis, biasanya yang berbau seks, berita terkini dan menjual kesedihan yang mendulang banyak pembaca. Atau terpilih menjadi Headline Kompasiana, yang memungkinkan karya kita nongkrong di laman muka. Penentuan Headline sendiri berkisar pada topik, dan atau mutu tulisan. Bisa salah satu, bisa dua-duanya.
Komentar dan vote juga bisa banyak diberikan karena Headline tadi, atau karena teman. Ada yang karena sudah biasa absen, ada pula yang memang mengapresiasi karya. Kalau saya perhatikan, jarang sekali sesama penulis fiksi saling berinteraksi di kolom komentar. Ya, ada kemungkinan mereka memang belum membaca, ada kemungkinan sudah membaca tapi tidak berkomentar. Perihal ini, ada beberapa sebab. Mungkin tulisan kita tidak ia nikmati karena tidak sesuai seleranya, teknik penulisan buruk, atau tidak suka dengan penulisnya. Kelihatan konyol, tapi memang ada. Bisa juga tulisan ia nikmati, tapi dengan alasan tidak mau mengotori dengan komentar, jadilah ia silent reader. Ada juga yang mati gaya, mau komen apa ya…pokoknya sudah mengerti lah maksudnya.
Karena itu, ketika ada sesama cerpenis yang mengapresiasi karya kita, berjuta rasanya. Bayangkan, untuk mengharap seseorang komentar saja sedemikian sulitnya, apalagi mengharap cerpenis melakukan review atas tulisan-tulisan kita. Tulisan loh yah, dalam kategori belum berbentuk buku, penulis tidak terkenal dan bukan novel. Apa yang bisa dianalisis dari sana, jika yang bersangkutan tidak mengikuti sejak lama, serakan karya-karya kita, yang suka seenak udelnya lompat tema dan genre, serta masih belajar menulis?
Beruntungnya saya ketika rekan cerpenis di Kompasiana melakukannya. Perlu jiwa yang besar untuk mereview karya pemula seperti saya. Karya Kang_Tukul, begitu alamat dan nama akunnya, terlihat sudah nyaman dengan style yang dianutnya. Irit huruf kapital, irit tanda titik, dan nyerocos seperti kereta api. Sesuatu yang disengaja, karena narasinya begitu sistemik, sehingga urusan tanda baca dan huruf sudah pasti tidak luput dari perhatiannya. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh cerpenis yang sudah matang, nyaman dengan apa yang ditulisnya, bukan asal mengikuti selera pasar.
Dan dari cerpenis sekelas Kang_Tukul ini saya mendapat apresiasi. Tanpa titip link atau memberitahu saya, tiba-tiba Beliau menayangkan tulisan ini di rubrik fiksi. Saya pikir cerita dan kaget juga kok ada foto saya disana. Disana Beliau mengulas singkat profil dan karya saya, serta menyarankan untuk membuat buku. Saya jadi ingat kehadiran Kang_Tukul di kolom komentar saya adalah selalu menyarankan untuk membaca karya saya dengan mendengarkan sebuah lagu yang ia rasa cocok dengan tulisan tersebut. Saya seketika berpikir, jika saya menghubungkan tulisan dengan visual, maka Kang_Tukul menghubungkannya dengan audio atau pendengaran. Satu yang akan saya ingat terus, Beliau berkata dunia maya adalah latihan, tantangan sesungguhnya adalah di dunia nyata. Wah, nasehat yang memberi saya semangat untuk terus berkarya, hingga layak diterbitkan 🙂
Saya juga merasa tersanjung disandingkan dengan Ranaya. Sesama cerpenis wanita ini punya gaya tersendiri, saya katakan genrenya dark, yang memang sudah ‘jadi’. Maksudnya teknik penulisan ia kuasai dengan baik, stylenya bisa berubah-ubah tanpa mengorbankan kualitas, demikian pula dengan penguasaan tema. Penguasaan diksinya sangat luas, saya jadi ingin tahu buku dan kamus apa yang dibacanya 🙂
Memuji sesama cerpenis itu sulit untuk dilakukan. Saya biasanya melakukan di kolom komentar, berarti hanya untuk satu karya saja. Untuk mengulasnya menjadi satu artikel, tentu dibutuhkan niat yang tulus untuk membaca sejumlah karya cerpenis. Terima kasih pada Kang_Tukul yang telah mengajarkan pada saya, untuk mengapresiasi karya sesama cerpenis.
***
IndriHapsari
Lainnya : ketika puisi saya diapresiasi oleh penyair ^_^
congrats mbak…
Cemungudh terus nulisnya. Aku jd pembaca setiamu.
Makasih yah Val, cerpenis yg baca cerpen org lain itu WOW! 🙂
Wuaaah. selamat ya Mba. Meskipun belom semua dan baru ngikutin sudah suka terbuai sama rangkaian kata yang Mba Indri hasilkan.. 🙂
Makasih yah Pak Dani:)
tulisan mbak Indri kebanyakan memang spt orang yg sedang bercerita. jadi yg baca ya merasa seperti diajak ngobrol. tau-tau lagi asyik baca, tanpa disadari sudah selesai ceritanya 🙂
Hihihi, terlalu cepat ya Pak Yudhi, trims ya sudah bersedia membaca ^_^
Aku sudah lama kepengen belajar nulis cerpen, Ndri. Tapi seperti keinginan tsb belum terlalu kuat. Makanya nulis satu saja belum selesai sampak sekarang.
Coba aja mbak, sdh biasa nulis reportase mestinya tinggal tema dan mood aja, teknik penulisan pasti sdh ok 🙂