‘Pagi Bu, semua berkas sudah saya taruh di meja.’
Aku mengangguk pada Shely, sekretarisku. Meeting sebentar dengan klien di coffee shop, sebelum yang bersangkutan pulang ke negaranya.
‘Nanti siang saya ada janji?’ tanyaku sambil mengirimkan draft perjanjian dari tablet yang kubawa. Shely harus membereskannya siang ini, sebelum kukirim balik ke klien.
‘Baru sore Bu, sekitar jam 6. Karena Pak Thamrin baru bisa ditemui seusai kerja.’
Aki mengangguk. Kuserahkan tas laptopku padanya. ‘Ada portofolionya Mr. Smith. Tandai yang penting, nanti saya pelajari. Dan…tolong diberesin file dokumen dalam laptop ya, buat dalam folder-folder dengan nama dan tanggal.’
‘Baik, Bu,’ Shely menjawab patuh.
Aku bergegas masuk ke ruanganku, dengan hanya menenteng tablet. Semua sudah dibereskan oleh Shely, sehingga aku bisa berkonsentrasi pada proyek berikutnya.
Aku memandang lalu lintas dari ketinggian lantai 20. Nampak kecil-kecil, seakan mudah diambil. Tapi hingga sekarang proses pembebasan lahan di lokasi strategis itu masih belum menemukan titik terang.
Kunyalakan komputer di meja, hendak memeriksa kemajuan proses pembebasan lahan tersebut. Namun teleponku berbunyi, dan Shely memberitahu, Nadine ada di saluran satu.
Aku memang sengaja menyerahkan ponselku pada Shely, agar tak diganggu telepon saat bekerja. Hanya pada beberapa orang aku minta Shely untuk segera memberitahuku, misalnya dewan komisaris dan Nadine, anakku.
‘Miii! Tebak, apa yang Nadine dapat pagi ini?’ Suara ceria terdengar di ujung sana. Nadine dengan sifat sanguinnya, batinku sambil tersenyum.
‘Ngga tahu, sayang. Emang apa?’ tanyaku ingin tahu.
‘Nadine keterima Mi! Di University of Birmingham!’ katanya gembira.
‘Wah, selamat ya Nadine. Ngga sia-sia kita kemarin belain ke sana untuk ketemu supervisornya,’ kataku ikut gembira.
‘Hehehe, iya Mi. Nadine kira bakal lama, eh ternyata mereka kirim email, Nadine bisa ikut intake tahun ini. Tapi kayanya mau Nadine tunda aja Mi. Mungkin dua tahun lagi.’
Bagai disambar geledek aku mendengar Nadine berkata begitu dengan nada yang tetap ceria. Ditunda? Setelah semua usaha ini?
‘Kenapa Nadine? Bukankah Mami sudah setuju, dan dukung Nadine supaya bisa berangkat setelah S1nya beres? Ngga usah khawatir tentang biaya, Mami sanggup kok biayai meski Papi sudah ngga ada.’ jelasku perlahan. Meski Nadine tergolong anak yang mandiri sejak kecil, tetap saja ia masih suka merubah keputusan seenaknya.
‘Rencananya, kan Nadine mau sekolah lagi kalau Bram ikut, Mi. Maksudnya, nikah dulu gitu, terus disana biar Bram nemenin Nadine. Tapi kata Bram, modalnya belum cukup untuk nikah. Jadi Bram mau nabung dulu, biar bisa ikutan berangkat.’ jelas Nadine santai, padahal aku masih saja terkaget-kaget.
‘Kalau Nadine berangkat dulu, lalu Bram nyusul gimana?’ kataku mencoba menawarkan solusi.
‘Ngga mau ah! Nanti malah Bramnya kemana-mana ditinggal jauh,’ sungut si ceria itu.
‘Yaah..Mami sih percaya Bram bukan yang seperti itu,’ kataku meyakinkannya, meski aku tak tahu pasti juga kebenarannya.
‘Ih Mami sok tau!’ katanya sambil tertawa. ‘Udah yah Mi, Nadine udah dijemput Laura. Bye!’ Dan pembicaraan kami terhenti.
Aku meletakkan gagang telepon. Mencoba berpikir bagaimana hal ini bisa terjadi di luar rencana. Aku yang terbiasa menyusun semua serapi mungkin, mencegah terjadinya penyimpangan, terus terang merasa tertantang juga untuk menyelesaikan.
‘Shel,’ kataku lewat telepon, ‘siapkan mobil ya. Saya mau keluar sebentar.’
*
Bram tergopoh-gopoh saat menemuiku di lobby gedungnya. Ia juga terdengar kaget saat kutelepon, dan kukatakan aku akan mengunjunginya, jika ia tak keberatan. Tentu saja ia tak keberatan, siapa yang bisa menolak jika calon mertuanya datang.
Setelah berbasa basi sejenak, aku langsung membahas rencana yang kususun dalam perjalanan.
‘Begini, Nak Bram. Nadine mau sekolah kalau Nak Bram ikut. Tentu kalian harus menikah dulu. Tapi kata Nadine, Nak Bram belum bisa ikut. Nadinenya jadi memutuskan ngga berangkat dulu lo Nak Bram. Sayang kan…’ kataku mencoba meyakinkan.
Bram tertunduk. ‘Saya sih mau saja Tante, cuma …terus terang untuk biaya pernikahan, semuanya dari saya karena Bapak sudah pensiun. Saya ngga tega memberatkan orang tua dengan pernikahan saya. Karena itu…saya minta ke Nadine untuk mau menunggu sampai saya meminangnya, mungkin dua tahun deh Tante, saya usahakan ngumpulin uang dulu. Saya sudah bilang Nadine untuk berangkat sekolah saja, tapi dianya ngotot ngga mau kalau saya ngga ikut.’
Aku tersenyum. ‘Nak Bram, ngga perlu khawatir. Soal biaya, serahkan semua ke Tante. Mulai akad sampai resepsi, Tante bisa biayai kok. Kalau malu, bilang saja itu uangnya Nak Bram.’
Bram terperanjat. Sejenak aku menyesali perkataanku yang terlalu tembak langsung. Wah kalau harga dirinya terusik, bisa gawat nih!
‘Itu juga kalau Nak Bram mengijinkan, Tante ikut bantu,’ kataku hati-hati.
Bram terdiam sebentar. ‘Makasih Tante, saya tahu maksud Tante baik. Tapi saya masih sanggup kok, Tante. Kalau akad saja sih, tinggal sewa aula masjid di dekat rumah saya juga bisa. Masalah lainnya Tante, kalau saya ikut kesana, nanti bila sudah selesai dan kami kembali ke Indonesia, saya mau kerja apa? Karena perusahaan saya tidak punya skema karyawan yang cuti di luar tanggungan.’
Aku kembali tersenyum. ‘Nak Bram ngga usah khawatir. Perusahaan saya siap menerima Nak Bram dengan tangan terbuka. Bukankah nanti untuk Nadine juga perusahaan ini akan saya berikan?’ kataku menjelaskan.
Bram mengernyit. ‘Wah kalau prinsip saya sih jangan sampai jabatan berada di bawah istri. Karena itu saya pasti memilih perusahaan yang berbeda.’
Aku mengedikkan bahu. ‘Saya hanya menawarkan,’ kataku melunak lagi. Berusaha mengambil hati calon mantu.
‘Ehm…gini aja Tante, kalau mau seperti itu…saya akan menikahi Nadine dengan acara akad nikah saja. Masalah resepsi, terserah Tante saja mau diadakan atau tidak. Saya mohon maaf, ngga bisa urun biaya disana. Tapi akan saya usahakan.’
Aku mengangguk. Tak masalah bagiku.
‘Lalu soal pekerjaan…saya akan coba cari beasiswa, supaya bisa belajar di satu kota yang sama. Dengan begitu, semoga saya mendapatkan ijin studi, sehingga waktu kembali bisa bekerja di perusahaan ini lagi. Selain itu, semoga dengan beasiswa, saya bisa menanggung biaya hidup saya sendiri, tidak tergantung istri.’
Aku tersenyum. Sebenarnya ingin kutawarkan pada Bram, untuk membayar semua academic admission dan living cost disana, tapi aku tahu Bram menjunjung tinggi harga diri, hingga ia tak mau bergantung pada orang lain.
‘Jadi, kita sepakat ya?’ kataku memastikan. Bram mengangguk. Kami bangkit dan saling berjabat tangan.
‘Bram…?’
‘Ya Tante?’
‘Lain kali panggil Mami aja…’ pintaku pada mantu favoritku.
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/420031102717313160/
ya mami…hehee
Hihihi 🙂