Beberapa hari ini jagad Kompasiana heboh karena ada seseorang yang berani menuliskan mereka yang suka titip link karya mereka di jagad Facebook adalah ketengan. Maksudnya karyanya ‘ditawarkan’ dengan murahnya dengan menyebarkan link tersebut ke media sosial, berharap orang lain baca.
Tuduhan yang diberikan oleh penulis ini adalah mereka ‘memaksa’nya untuk membaca, memberikan puja-puji yang diinginkan penulis, padahal karyanya loh masih biasa-biasa, kacangan lah istilahnya. Ini yang bikin sepet penulis.
Nah, kalau sy ada di posisi penulis, bagi saya sih itu semudah ngga usah diklik linknya. Biasanya faktor yang membuat saya melihat tulisan seseorang, karena judulnya, beberapa kalimat yang bisa diintip dari tautan tersebut, dan penulisnya. Ah ya, ada yang bilang jangan melihat siapa yang menulis. Namun genre, gaya menulis dan kemampuan seseorang menulis itu beda-beda, sehingga yang saya baca ya yang cocok saja. Saya ngga mau meluangkan waktu jika memperkirakan tulisannya bakal gitu-gitu aja, berkerut kening ini karena ngga ngerti, apalagi mesti baca berulang-ulang supaya paham. Waste time. Pasti saya loncat ke artikel yang lain.
Kalau dari sisi saya sebagai penulis ketengan, jika dikaitkan dengan suka titip link saya setuju. Maklum, blog pribadi. Gimana orang tahu ada tulisan saya kalau ngga disebar lewat medsosTwitter dan Facebook? Google sendiri juga menyarankan seperti itu, selain tentu masalah SEO yang saya ngga begitu paham. Tapi yang penting update tulisan terus, itu yang disuka oleh mesin pencari.
Kalau dikaitkan dengan mengharap puja puji, siapa yang ngga mau? Buat blog pribadi, dikunjungi aja udah senang. Tapi saya juga mengharapkan ada masukan mengenai karya. Itu sebabnya saya suka ngeteng (baca : menautkan link) di komunitas tempat para ahli berkumpul, atau lempar tulisan ke situs para penulis berkumpul. Tempat dimana saya belum dikenal, sehingga orang bisa lebih ngga sungkan melontarkan pendapatnya. Ini beberapa contohnya.
Yah, sebenarnya sesederhana itu. Sepet dengan banyak link ketengan, ngga usah diklik. Senep dikatain penulis ketengan (baca: murahan), nah sejatinya gitu ngga? Kalau kita merasa udah melakukan yang terbaik, mau terus belajar dan menghargai karya, ya woles aja. Di masa depan, bakal lebih banyak julukan atau kata-kata yang bakal dialamatkan ke kita. Biarin aja mereka bicara apa saja, jawab dengan karya.
***
IndriHapsari
belum kenal ya sama penulis kritik itu?
kalo Hilda itu, tulisan seperti yang diutarakan “syair/puisi ketengan” itu masih lebih halus..
kalo mau tulisan bagus, memang harus “dijatuhkan” dullu… sakit memang… tapi manfaatnya akan ada di kemudian hari.. percaya deh..
salam
Mbak Hilda sdh baca2 tulisannya, ada yg kasih link dulu pas sastra instan. Sy pernah utarakan di FC dan ditanggapi Kang Insan.
Kritik yg membangun itu perlu, bukan yg menjatuhkan. Apalagi kalau yg ngasih kritik memang capable ^_^ Trims ya.