Kemarin anak saya bicara dengan bahasa yang sepertinya ia dapat dari televisi.
‘Gue nanti mesti belajar ya Ma?’
Sebelum menjawabnya, saya tanya kok dia ngomongnya begitu? Dia bilang niru yang di TV, thanks God it’s ‘only’ Bajaj Bajuri, bukan sineton alay yang saya larang keras anak-anak untuk menontonnya. Kemudian saya beritahu, bahwa kita di Jawa (oh of course, I know you Jakarta people always say ‘Jawa’ for people from outside Jakarta) kita bisa menggunakan kata ganti ‘aku’.
‘Kalau Bang, diganti apa Ma?’
Oh, Bang Juri maksudnya. Saya bilang aja kita disini pakainya Mas.
Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat kemajuan, dan pusat keanekaragaman menjadi trend setter Indonesia. Semua stasiun televisi nasional ada di sana, sehingga penyebaran kebudayaan sangat mudah. Media cetak nasional kebanyakan berada di sana. Dan itu yang mempengaruhi kehidupan orang di daerah, bahkan cenderung rasis juga.
Seorang teman menampilkan foto buku pelajaran Bahasa Indonesia yang digunakan di sekolah dasar di Surabaya. Penggunaan kata ganti ternyata sudah berubah. Harusnya ‘Bapakku’ menjadi ‘Bapak aku’. Belum kata-kata lainnya seperti ‘tas aku’, ‘kucing aku’, ‘sapu aku’. Apalagi kalau bukan karena sinetron, yang banyak mengambil setting di Jakarta, dimainkan oleh orang Jakarta, dengan penulis skenario dan sutradara yang tinggal di Jakarta.
Waktu Lebaran, ada teman yang menayangkan betapa sepinya lalulintas Jakarta saat itu, dengan komentar ‘Yang bikin Jakarta rame tuh orang-orang kampung’. Oh, jadi di Indonesia kotanya cuma ada satu, Jakarta, dan lainnya adalah kampung-kampung besar? Dan entah ya, penggunaan kata kampung ini juga merujuk pada intelegensia yang lebih rendah, penampilan yang norak, atau sekalian dialek yang lucu.
Pertanyaannya, benarkah Jakarta is that high?
Most of them only bluffing. Di balik mewahnya penampilan mereka, kerennya cara berkomunikasi, dan happynya cara mereka bersosialisasi, ada kekosongan yang dirasakan. Ada pencarian, ada usaha menutupi kekurangan. High life style dipadukan dengan kebobrokan moral, penurunan etika (biarpun ngomongnya ngenggres tetap aja ngga mau antri) dan anti-sosial.
Maka sosok seperti Jokowi, menjadi unik bagi mereka, penduduk Jakarta. Dari kampung, dengan senyumnya yang ‘desa’ , logatnya yang medhok dan perilakunya yang santun, seakan menjawab kerinduan mereka terhadap sosok anteng dan mampu ngademin (mendinginkan) hati, terhadap segala keruwetan yang terjadi.
Jangan dikira hidup di Jakarta itu gampang, bahkan ketika kita punya uang untuk dihabiskan. Kalau kita miskin, Jakarta ibu kotanya kekejaman. Silakan saksikan orang-orang kaya bersliweran, tanpa sedikitpun menoleh pada mereka yang kekurangan. Kalau punya uang, siap-siap jadi sasaran kemarahan mereka yang tak seberuntung itu. Entah dengan cara bagaimana mereka akan merampas hak orang lain, tapi cukup membuat saya ogah untuk tinggal lama di sana.
Oh tak apa saya dianggap kampungan karena semua unsur kedaerahan saya. Meski gen saya campuran barat dan timur, dan kami ini perantauan hingga tak ada tempat tinggal permanen, tetap saja saya adalah orang daerah, yang ogah menukar ketenangan hidup ini dengan tinggal di Jakarta (kalau boleh memilih). Di sini saya tak perlu terburu-buru berangkat dini hari, tak perlu berurusan dengan sampah dan pencemaran udara, kemacetan, banjir, kejahatan, atau gaya hidup yang menyilaukan mata. Belum kalau empet lihat teman jalan dengan selingkuhannya..wah wah wah..mending di kota kecil yang kelihatan semuanya.
Sudah saatnya orang-orang daerah tidak berkiblat pada Jakarta. Gali potensi kedaerahan kita. Seperti penyiar radio yang ngga perlulah beraksen Jakarta, atau ber-lu gue seperti anak saya, tapi biarlah kecablakan dan kemedhokan itu menghiasi udara kita. Munculkan kebanggaan daerah, misal batik, aneka kerajinan tangan, penganan khas daerah, tempat wisata, itulah keunikan yang Jakarta tak punya.
Banggalah sebagai orang kampung. Karena pikiran kita yang terbuka.
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com dgn keyword : Jakarta