Dari balik laptop, aku amati mereka yang sedang duduk di cafe.
Seorang ibu sedang sibuk memencet Blackberrynya, sesekali menyeruput gelas dengan kantung teh tetap tenggelam di dalamnya. Seorang gadis hanya terdiam sambil mengamati tablet 7 inchnya, cukup sopan dengan earphone di telinga. Nampaknya cairan warna merah muda dengan whipped cream di atasnya belum ia sentuh.
Semuanya wanita. Mereka yang punya alasan kuat untuk tidak puasa. Cafe ini sendiri telah melindungi dirinya dengan memberikan tambahan tirai warna hijau muda, menutupi separuh isi cafe. Benar-benar separuh, karena dari luar aku masih bisa menyaksikan pelayan cafe ini mengunjungi pelanggan di masing-masing meja. Akupun dapat menyaksikan kaki yang menjuntai di bawah sofa.
Tempat favoritku di pojok, karena dekat dengan colokan listrik. Sebenarnya laptop ini kuat bertahan dua jam tanpa listrik, namun kalau kebetulan ide datang, maka novel yang kutulispun jadi melebar kemana-mana. Tak apa, demi syarat lima puluh ribu kata. Oleh karena itu, daripada mengganggu pelanggan lainnya dengan kabel yang menjulur, lebih baik kudekati sumber listrik berada.
Mbak Kafe, begitu aku memanggil pelayan cafe tersebut, telah mengenalku lama. Kira-kira sebulan, seminggu lima kali, aku akan setia berada di pojokan. Kupilih jam sepi, agar tempat favoritku ini belum ditempati. Ia akan tersenyum saat melihatku datang, menyapa ramah, dan kemudian kembali pada kesibukannya.
Nanti kalau aku sudah membuka laptop, menaruh wireless mouse dan terkoneksi dengan wifi gratis di cafe ini, maka aku akan mengucapkan pesananku, dari papan tulis yang berisikan menu. Kadang minuman dingin, kadang panas jika udara terasa dingin. Kali ini cuaca panas, sehingga Belgian Chocolate Iced menjadi pilihanku.
Lalu, sembari ia mengantarkan pesananku, mulailah kami bercakap. Mungkin ada aturan dari supervisornya, pelayan tak boleh mengobrol di meja pelanggan. Sehingga percakapan kami biasanya singkat. Ia menaruh pesanan di mejaku, lengkap dengan tisu dan sedotan, aku bertanya sesuatu, dan ia menjawab seperlunya.
Namun pertanyaanku kini berbuntut panjang, hingga akibatnya novelku batal kulanjutkan.
‘Puasa, Mbak?’ sapaku padanya.
‘Iya, Bu,’ jawabnya ramah. Rasa bersalah menerpaku. ‘Maaf ya Mbak, saya minum di depan Mbak.’ Ah ya, konyol sebenarnya. Kalau aku bertahan di sini tanpa beli apa-apa, malah lebih aneh lagi kan.
‘Ngga apa, Bu. Sudah biasa.’ Tuh kan, termasuk resiko pekerjaan rupanya. Bagi mereka yang bekerja di industri makanan dan minuman, mungkin ini tantangan terberatnya. Menyajikan dan menonton mereka yang makan minum di depan mata.
‘Mudik kemana Mbak?’ tanyaku lagi, sementara Mbak Kafe sudah di belakang meja lagi. Sibuk mengeringkan gelas-gelas yang baru ia cuci.
‘Ngga kemana-mana Bu,’ katanya sendu.
‘Loh, kenapa?’ tanyaku ingin tahu. Seingatku baru minggu lalu ia cerita, ia memasukkan sepeda motornya ke bengkel, agar bisa dipakai saat mudik ke kampung halaman.
‘Suami saya ngga dapat THR, Bu. Pakai THR saya saja tidak cukup.’
Nampaknya aku saja yang berminat mendengar ceritanya. Ibu itu masih tersenyum-senyum menatap layar mininya. Sementara gadis tadi tetap dengan aksi diamnya.
‘Bukannya semua pegawai mestinya dapat ya Mbak?’ tanyaku ingin tahu. Sejenak Mbak Kafe terdiam. Lalu ia mendatangi mejaku. Melanggar aturan, dengan duduk di hadapanku.
‘Iya Bu,’ katanya berbisik, ‘mestinya begitu. Tapi katanya uangnya terpakai untuk program banci-banci.’
‘Hah? Baru dengar Mbak. Apa itu?’ telingaku siap mendengarkan program menarik itu.
‘Lingkungan tempat kantor layanan kesehatan suami saya bekerja kan ada di lingkungan banci-banci Bu. Kalau malam rame dah daerah situ. Nah, petugas selain meladeni mereka yang sakit, juga punya program penyuluhan, vaksinasi, sama tes darah gratis. Program pemerintah Bu,’ jelasnya.
‘Lo Mbak, program pemerintah berarti sudah anggaran rutin dong,’ bantahku. ‘Kok bisa makan uang THR?’
‘Ya itulah Bu. Pak Bono, kepalanya, bilangnya begitu.’ katanya pasrah.
‘Kok aneh sih Mbak..’ gumamku.
‘Tapi Bu…’ katanya sambil mencondongkan badannya. ‘Ada kabar, uangnya terpakai untuk DP mobil baru.’ Oh, nampaknya kita mulai acara pergosipan.
‘Mobil apa itu Bu, yang ada na-na-nya. Kemarin sudah dibawa, persiapan mudik katanya,’ entah nada geram atau sedih yang tersirat di nadanya. Getir yang pasti, motor baru keluar bengkel berhadapan dengan mobil yang baru keluar showroom.
‘Memang ngga ada yang protes ya Mbak?’
‘Ngga berani Bu. Bisanya pada ngedumel.’
‘Dilaporkan saja Mbak,’ usulku. Ya, semua pasti ada jalan keluarnya.
‘Ngga bisa Bu. Pak Bono juga suka bagi-bagi rejeki. Kan ngga semua dilaporkan Bu, sisanya masuk kantong Pak Bono dan pegawainya.’
Aku terdiam. Maksudnya..korupsi? Dan suaminya..juga terlibat?
‘Nanti kalau pak Bono dilaporkan, lalu penggantinya ngga seroyal Pak Bono, gimana Bu. Jadinya ngga ada yang berani lapor.’ Kini matanya menerawang.
Walah, kok rumit begini. Ternyata jalan keluarnya tak semudah yang kusangka.
‘Padahal orang-orang sudah berharap banyak lo Bu, dapat satu kali gaji. Kan lumayan, dibagi sama gendakan,’ cibirnya.
Hah? ‘Gendakan itu..selingkuhan ya Mbak?’ kataku mengkonfirmasi. Sering dengar sih, tapi takut salah arti.
Ia mengangguk. ‘Teman-temannya, hampir semua Bu, begitu. Sejak gaji dinaikkan, sepertinya mereka punya uang berlebih untuk dihabiskan. Sayangnya yang menikmati kok ya bukan istrinya. Malah dibagi ke yang lebih kinyis-kinyis,’ gerutunya.
Tambah pusing kepalaku. Tempat itu, seperti lingkaran setan saja.
‘Bu, kalau telepon kantor itu bisa melihat nomor siapa yang masuk ngga ya?’ tanyanya tiba-tiba.
‘Kalau kantornya langganan, ya bisa Mbak. Kenapa sih?’
Ia tersenyum kecut. ‘Mau saya telepon Bu. Seenaknya saja menahan THR orang,’ ucapnya geram.
‘Ooh..mbaknya mau jadi penelepon gelap?’ kataku dengan senyum tertahan. Berani juga ia.
‘Iya Bu, tapi saya cemas nomor saya ketahuan.’
‘Coba ke wartel aja Mbak,’ kataku memberikan saran.
‘Waaah, sudah ngga ada Bu. Semua diganti warnet,’ cetusnya.
‘Ehm..kalau gitu, coba telepon umum!’
Ia tertawa. ‘Waaah, Ibu ini kok ketinggalan jaman! Mana ada telepon umum sekarang Bu? Langka!’
Aku ikut terkekeh. ‘Iya ya, saya hidup di jaman kapan ya…’
‘Mbak, bayar,’ terdengar suara dingin.
Ibu-ibu yang tadi asyik memainkan Blackberrynya kini sudah di depan meja bar, mengingatkan Mbak Kafe untuk jangan bergosip saja. Tergesa Mbak Kafe menghampirinya, menekan-nekan tombol di mesin kasirnya, dan mengucapkan jumlah yang harus dibayar. Tanpa membalas ucapan terima kasih Mbak Kafe, Ibu itu langsung pergi.
Sambil membereskan meja dan kursi, Mbak Kafe terus membahas kelakuan aneh Pak Bono. ‘Kata suami saya Bu…’ selalu menghiasi awal topiknya. Pak Bono yang begini, dan Pak Bono yang begitu.
Sampai akhirnya aku sendiri jadi berpikir.
‘Mbak, semuanya kata suami ya? Mbaknya pernah..ehm..cek ke temannya?’
Mbak Kafe tak jadi mengatur posisi sofa.
‘Maksud Ibu…’ tanyanya tertahan.
‘Maksud saya..apa mungkin…yang ngga bawa THR cuma suami mbak aja. Tadi katanya..di kantornya banyak yang gendakan..’ kataku menjelaskan.
‘Awas kalau dia berani!’ serunya, kali ini tak tertahan.
‘Padahal dulu dia Bu yang ngejar-ngejar saya! Saya maupun karena habis putus sama pacar. Eh kok ya dia datang ngajak nikah, ya sudah saya terima,’ katanya bernostalgia. ‘Kalau tahu begini akhirnya, cari mati dia namanya!’ ucapnya berapi-api.
Lah, kok jadi begini? Haduh lidah, tahanlah nafsumu. Bukan urusan perasaan wanita saja, tapi satu keluarga jadi terancam keutuhannya, gara-gara liukmu.
‘Bu, bisa pinjam HPnya?’ kini ia mendatangiku.
Tergagap aku bertanya, ‘Buat apa?’
‘Mau jadi penelepon gelap suami saya!’
Oh OK, cukup. Nampaknya aku harus cari tempat nongkrong baru, atau novelku akan berjudul ‘Never Ending Story’.
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/420242208948607396/