Sebenarnya malu nulis ini, soalnya merasa hati belum tulus-tulus amat. Kadang tulus, kadang ngga mulus. Untungnya ngga berhubungan sama fulus, sumber segala akal bulus.
Cerita yang saya amati saja ya.
Kalau orang tuh hatinya tulus, ikhlas, legawa, tawakal, apapun istilahnya, semua hal ia pandang dengan kacamata positif, semua nampak baik adanya. Orang baik itu bukan hanya karena lingkungan loh. Misal lingkungan kita orang baik semua, cukup semua, trus otomatis kita mendadak jadi baik, ya ngga juga. Kalau hati sudah dikotori dengan curiga, nafsu dan iri, maka percuma dah dia ditaruh di surga yang orangnya baik-baik semua. Ada aja yang dijadikannya alasan untuk memelihara sifat-sifat buruknya.
Misal saat dia ditolong oleh si tulus, yang di pikirannya adalah ‘Kok dia nolong aku? Pasti ada apa-apanya!’ Nah, jadi rugi kan nolongin orang ngga tulus, terus aja dicurigain. Apalagi kalau si tulus salah langkah. Ngga sengaja nih, tapi dibikin ribut karena dia mikirnya ini kesempatan buat ngejatuhin si tulus.
Sebaliknya, lingkungan yang buruk, bisa membuat si tulus bertahan, bahkan mempengaruhi lingkungannya. Contoh Bunda Teresa. Kurang buruk apa coba Kalkuta, sudah miskin, penyakitan, kumuh, fasilitas nol, dan saya yakin, lingkungannya ngga ramah untuk orang asing. Tapi Bunda Teresa jalan terus, menyampaikan kasih dengan caranya, dan tetap memiliki hati yang tulus dengan tanpa lelah dan putus ada bekerja melayani sesama.
Nah, kita mau pilh yang mana? Kalau susah, bayangkan perlakuan apa yang ingin kita terima dari orang lain, berlakulah juga demikian 🙂
***
IndriHapsari
Picture : pinterest.com
jadi dalam kondisi apapun, semuanya tergantung diri kita, ya mbak.. ibarat ikan di laut yg nggak ikut-ikutan asin meski airnya asin 🙂
Iya Pak. Dulu saya percaya ‘berteman dengan malaikat, susaaah jadi malaikat. Berteman dengan rampok, gampang jadi rampok.’ Tapi ternyata itu semua tergantung kita juga, mampu ngga menghadapi lingkungan yang berbeda. Untuk bertahan tetap baik, perlu ketulusan hati #belajar 🙂