Oh tidak, saya tidak akan membahas masalah perbedaan keyakinan. Buat saya jelas adanya, bahwa perbedaan itu mutlak ada, dan terserah pada masing-masing individu mau menerima apa ngga. Kenapa saya bilang mutlak? Kalau Anda percaya Tuhan Maha Kuasa, atas kuasaNya jugalah kita diciptakan berbeda, termasuk soal pilihan atas keyakinan. Kalau Tuhan mau nih, Tuhan bisa menciptakan manusia serba serupa, termasuk memusnahkan mereka yang tidak satu keyakinan dengan Anda. Tapi Tuhan ngga melakukan itu. Tanya kenapaaa….
Yang saya mau bahas adalah, kadang kita sebagai bagian dari beragamnya kepercayaan di dunia, gampang sekali mengeluh ini itu atas suatu keadaan. Terus ujung-ujungnya dikaitkan dengan agama. Haduh, Tuhan geleng-geleng kepala kali melihat betapa manja umatNya.
Ngga peduli mau mayoritas ataupun minoritas, semua sama cengengnya. Kalau ada pihak yang beda keyakinannya, beda cara sembahyangnya, bahkan beda tanggal perayaannya, pada ribut, koar-koar menyalahkan, daaaan…sambil menggalang dukungan. Kalau ada yang berpendapat beda, langsung deh ngambek. ‘Perbedaan itu indah’ cuma slogan aja, dilaksanakan, bahkan dipahami pun ngga. Cuma manis di mulut sama di jari. Maunya rame-rame, kuping dan matanya hanya ingin membaca yang sepaham saja. Nah, manja kan. Coba dong hadapi sendiri kalau misal ada pendapat yang beda. Dengan menghadapi sendiri, kita dilatih untuk toleransi (Anda sopan, kami segan. Anda ngga sopan, kami ini preman!), untuk berusaha memahami, untuk berpikiran lebih terbuka, tanpa petantang petenteng karena banyak temennya.
Yang minoritas juga sama aja manjanya. Kalau jadi minoritas, semua tingkah laku kita jadi perhatian. Kadang, kesempatan tak pernah diberikan pada minoritas, karena selain ada kecurigaan peng’agama’an (isi dengan salah satu agama), diskriminasi itu memang ada. Mau disembunyikan seperti apa juga, di Indonesia atau Amerika, di setiap penjuru dunia diskriminasi itu muncul dimana-mana. Hidup itu ngga adil? Memang. Tapi apa karena itu minoritas jadi berhak manja?
Biasanya kalau ada kejadian tak mengenakkan, yang disalahkan adalah keyakinannya. Misal nih, ngga naik-naik pangkat sampai mau pensiun. Lalu bermuram durja, meski tetap teguh memegang keyakinan, tapi ya ngedumel juga. Lah, selama kerja ngapain aja? Kenapa ngga lipat gandakan usaha, karena yang seperti saya bilang, minoritas pasti akan jadi perhatian. Jadi berusahalah muncul, meski mungkin sampai berdarah-darah saat melakukannya. Biarlah mereka menikmati ‘tontonan’ gratis ini, sebelum mereka menyadari, kita punya potensi.
Atau carilah bidang lain, dimana kita bisa lebih berhasil jika di sana sini dihambat. Intinya, ngga usah manja dengan kondisi yang ada. Kalau kita cari jalan, Tuhan akan beri jalan.
Bagaimana dengan Atheis, mereka yang tidak berTuhan? Sudah pada gede, sudah tahu seharusnya apa yang akan dipegang untuk hari depan. Jadi Atheis pun juga jangan manja, promosi sana-sini tentang berbagai teori, tapi meraung-raung ketika kehidupan makin menghimpit. Hellooo..siapa suruh ngga punya Tuhan? Tuhan adalah pengharapan. Sehingga saat kita dihimpit persoalan, kita masih punya harapan. Memang sih, kata orang atheis agama itu ciptaan manusia. Terlepas dari adanya Tuhan, setidaknya manusia beragama ini punya panutan, pegangan dan..ya itu tadi..harapan. Bahkan saat matipun akan ada harapan, habis ini kemana.
Yah, namanya aja manusia..masa sih ngga boleh galau?
Galau sih boleh saja. Tapi kalau galaunya digunakan untuk mencari bekingan, untuk pasrah dan desperate sama keadaan, untuk mencari perhatian supaya nampak beda, ya mending ngga usah galau. Keyakinan itu hubungan pribadi sama Tuhan, kalau galau, ya sampaikan secara pribadi pula ke Tuhan, ngga perlu pakai P.E.N.G.U.M.U.M.A.N.
***
indrihapsari
*belajar tidak manja*
gambar : think different
mantap mbak
Salam kenal Pak Mardowo, makasih berkenan mampir ^_^
artikel bagus buu.. setuju banget, apapun yg terjadi pd diri kita bukan krn agama kita semata.
Makasih mbak Indah. Saya kasihan sama agamanya, selalu dijadikan alasan atas suatu kejadian. Padahal, oknum…oknum… 😀