Di dalam keterpurukan, Manusia berdialog dengan Setan.
Setan : Ikut aku. Kan kuberikan apapun yang kau inginkan. Kepopuleran. Kekayaan. Kuasa.
Manusia : Dan untuk itu, apa yang harus kubayarkan?
Setan : Tak ada. Kau hanya perlu ikuti nafsumu.
Manusia : Nafsu? Ah, aku tak punya!
Setan : Jangan buatku tertawa. Kau pikir aku tak tahu, di hatimu penuh dengki ingin menjadi seperti yang kau ingini. Pada otakmu berkecamuk, bagaimana harta dan terkenal bisa kau keruk. Masih dalam jiwamu, tinggal sedikit saja untuk menggerakkan ragamu.
Manusia : Ah, ceracaumu sangat mengerikan bagiku. Aku tak seburuk itu!
Setan : Hei, siapa bilang itu buruk? Itu wajar. Kau manusia! Tinggal mau diikuti atau tidak sifat nan manusiawi itu.
Manusia : Dan rusaklah segalanya?
Setan : Itu tergantung kau pintar atau tidak. Kalau kau pintar, tidak akan ketahuan. Atau kalau pun ketahuan, uang berkuasa. Kau bisa menyelamatkan dirimu dan keturunanmu.
Manusia : Kau merayuku…
Setan : Tak perlu. Bukankah sudah kubilang, sejak dulu sifat itu ada dalam dirimu.
Manusia kebingungan. Tawaran Setan sungguh menggodanya. Mengangkat dia dari lembah kemiskinan, memberinya kekuatan dari diremehkan, dan membalik keadaannya menjadi dipuja banyak orang.
Namun hati nurani berkata, seharusnya Malaikat ia tanya juga. Siapa tahu jawabannya lebih memuaskan.
Malaikat : Tidak boleh. Nafsu harus dikekang. Jika kau membiarkannya berkeliaran, ia akan menjebakmu dalam jurang yang terdalam.
Manusia : Kau menakutiku.
Malaikat : Lalu apa yang harus kukatakan padamu? Berbuat baiklah maka semua kesenangan akan datang padamu? Kau tahu, hidup tidak seadil itu.
Manusia : Bukan, setidaknya, apakah boleh, kuikuti nafsuku sesekali, lalu ku balas denagn berbuat baik sesekali?
Malaikat : Kau pikir aturannya adalah barter? Jangan bercanda. Kau membuatnya nampak abu- abu.
Manusia : Ah, andai saja kau tahu apa yang kuhadapi di dunia. Tak bisa kau beri garis tegas, mana hitam mana putih.
Malaikat : Yang kutahu, kau terlahir putih. Saat kau kembali, mestinyapun kau putih.
Manusia : Jadi, tak ada toleransi, atas nafsuku yang sangat humanis ini?
Malaikat : Kau sudah tahu jawabanku. Jangan kaburkan lagi garis itu.
Manusia pulang dengan lunglai. Jawaban Malaikat memukul kepalanya, namun nafsu mengetuk-ngetuk hatinya. Semalaman berpikir, akhirnya ia menghadap Malaikat lagi.
Manusia : Aku sudah memikirkan percakapan kita.
Malaikat : Lalu, kau sadarkah?
Manusia : Aku sadar, bahwa aku tak bisa sesuci kau. Kau tidak hidup di dunia, karena itu tak ada godaan datang padamu. Mudah saja kau katakan ini itu, bagiku semua abstrak adanya.
Malaikat : Hei! Bukan maksudku..
Manusia : Dan karena itu, kuputuskan untuk tidak ikut nasehatmu. Selamat tinggal.
Malaikat terdiam. Satu lagi manusia lepas dari panduan.
Manusiapun mendatangi Setan. Dengan senyum kemenangan, Setan menyambutnya.
Setan : Aku tahu. Si dogol Malaikat sedang meredam kecewa sekarang. Welcome Bro..
Manusia : Dan aku tak mengikutmu juga.
Setan : Hah? Tak salah dengar?
Manusia : Ya. Semua yang kau tawarkan sangat menggiurkan. Namun menurutku, terlalu berlebihan. Aku ingin kaya, tapi tak terlalu kaya. Aku ingin terkenal, tapi di kalangan teman-teman saja. Aku ingin kuasa, untuk jabatan yang aku tahu, aku bisa mengembannya.
Setan : Ah, soal itu. Bisa dibicarakan..
Manusia : Tidak! Aku tak mau bergantung pada kau. Tak ada pemberian yang gratis, dan aku tak mau berhutang padamu.
Setan : Kau perlu waktu lama untuk mencapai semua itu…
Manusia : Aku punya umurku. Kalaupun aku mati sebelum mencapainya, keturunanku akan melanjutkannya. Pada akhirnya, keinginanku akan tercapai juga, tapi tidak melalui tanganku sendiri.
Setan : Mengapa begitu rumit…
Manusia : Ya. Karena aku manusia.
Manusia meninggalkan Setan yang masih termangu. Betapa kini Manusia tak bisa diaturnya lagi, lebih suka berbuat seenaknya sendiri…