Awalnya karena peribahasa ‘Gajah mati meninggalkan gading’, membuat saya berpikir kalau manusia mati meninggalkan apa ya? Einstein diingat karena penemuannya, Socrates karena pemikirannya. Kalau Indri? Yah, sampai saat ini mungkin yang saya bisa tinggalkan adalah tulisan – tulisan saya di Kompasiana (kecuali kalau server di Kompas error dan semua tulisan saya hilang :D). Selain memudahkan orang untuk lebih mengenal, hal ini lumayan meringankan kalau kelak ada yang membuat Obituari tentang saya 🙂
Pencarian peribahasa yang menyertakan binatang ini akhirnya membuat saya sampai ke sebuah situs milik blogger Malaysia, saharuddin-abdullah.blogspot.com . Kita memang satu rumpun, tapi kenapa mereka yang lebih serius melakukan regenerasi bahasa ya? Bagaimanapun, saya coba kaitkan peribahasa ‘kebinatangan’ ini dengan passion saya yang lain, yaitu menulis.
‘Mulutmu harimaumu’
Apa yang kita tulis, hendaknya memang sudah kita lakukan atau pahami benar-benar. Karena saat tulisan itu dikembalikan lagi ke kita, benar tidak kita sebagai penulis sudah melakukan atau memahaminya luar dalam? Bisa-bisa malah malu sendiri karena asal memberi saran tapi tidak melakukan. Atau sok memberikan informasi tapi tidak memahami. Contoh, saya tidak mungkin menulis tentang tips-tips diet sementara saya sendiri masih belum berhasil menurunkan berat badan. Mungkin peribahasa seperti ‘Musang berbulu ayam’ atau ‘Serigala berbulu domba’ dapat digunakan juga. Menggambarkan tulisan yang berkebalikan dengan yang dilakukan oleh si penulis. Ngomongnya diet tapi sehari – hari ngemil mulu 😛
‘Bagai ubur-ubur airnya hitam’
Artinya, dari tingkah laku dan bahasanya, kita tahu orang itu jahat. Jadi hati- hati dengan perkataan maupun segala sesuatu yang kita tuliskan. Ada saran kalau menulis jangan di saat kita sedang marah, karena pembaca akan menilai keseharian kita ya seperti itu.
‘Harimau ditakuti sebab giginya’
Seorang penulis disegani karena tulisannya yang inspiratif, bermanfaat, atau menghibur. Bukan karena aumannya atau teriak kesana kemari dia adalah penulis beken. Pembaca akan melihat seberapa tajam ‘giginya’, dalam hal ini adalah karya tulisnya.
‘Mengajar binatang dengan pukulan, mengajar manusia dengan kiasan’
Motivasi orang untuk menulis ada macam-macam, salah satunya adalah untuk memberitahu pihak lain, dengan menyebut nama langsung, inisial, atau menyindir. Jadi muter-muter dahulu, untuk mencapai tujuan. Sebabnya, kalau kita memperlakukan manusia sama seperti binatang, jadi diajar dengan ‘dipukul’ atau frontal, urusannya bakal panjang, bisa masuk ranah hukum juga. Karena niat yang baik jika disampaikan dengan cara yang tak sesuai, tidak akan mengubah apapun. Yang dipersoalkan kelak adalah caranya, bukan esensi ajarannya.
‘Seperti elang menyongsong angin’
Ini tipe penulis yang berani beda, yang ditulisnya berlawanan dengan arus utama. Seyogyanya keberanian ini juga dilengkapi dengan dasar yang kuat, karena kalau berani beda, pasti banyak juga yang beda pendapat. Penulis harus bisa mempertahankan argumennya dengan cara yang elegan. Misal Stephen Hawking, terlepas dia benar atau salah, segala keterbatasannya tidak membuat dia takut untuk tampil beda karena punya dasar yang kuat, bahkan pengikutnya semakin banyak. Atau Pramoedya Ananta Noer yang karena tulisannya menyebabkan dia dipenjara, tapi penikmat tulisannya sangat loyal.
‘Seperti kuda lepas dari pingitan’
Menggambarkan seseorang yang senang sekali mendapatkan kesempatan untuk menulis, sehingga apaaa 
saja ditulis. Contohnya di Kompasiana. Selain untuk latihan menulis dengan beragam kanal yang ada, setelah artikel dipublikasikan, seorang penulis harus dapat mempertanggungjawabkan opininya yang ‘lepas’ dengan pembaca yang mungkin berbeda pendapat.
Menulis membuat kita memiliki sifat-sifat positif dari binatang. Jangan disia-siakan dengan meniru sifat negatifnya ^_^
***
reposted-edited