Cinta Sepanjang Usia

Gereja, Jam 6 Pagi

Sepasang wanita dan pria duduk bersebelahan. Wanita itu datang sendiri, sementara yang pria memisahkan diri dari grupnya. Grupnya selalu duduk di depan, sementara ia memilih duduk agak belakang.

Duduk berdua, tapi tak bersentuhan. Ada jarak sekitar dua puluh senti antar mereka. Saat mendengarkan pembukaan, mereka berdua mendengarkan dengan baik. Saat tiba waktunya berdiri dan menyanyikan lagu yang terpampang di layar, sang wanita bangkit dari bangkunya, seperti yang lain.

Sang pria tetap duduk. Mungkin ia tak bisa berdiri, karena di sepanjang kebaktian, ia hanya duduk saja, mendengarkan. Bahkan ketika tiba semua membuka Alkitab untuk membaca ayat kotbah di dalamnya, ia masih mendengarkan, tidak membaca. Sang wanita yang aktif mengikuti semua. Berdiri, duduk lagi, membaca ayat, menyanyi, dan membaca pengumuman yang tertera di buletin gereja.

‘Ada camp di Trawas’ katanya pada sang pria.
‘Apa?’ balas sang pria.
‘Camp di Trawas.’ ulang sang wanita.
‘Trawas?’ sang pria meliriknya.
‘Ya, Trawas.’ ulang sang wanita sabar. ‘Kamu ikut?’ tanyanya.
‘Apa?’ sang pria bertanya lagi.
‘Kamu ikut?’ sang wanita masih mengulangnya.
‘Ndak. Bayar ya?’ tanya sang pria.
‘Ya.’ kata sang wanita sambil membaca ulang pengumuman tersebut.
‘Kalau kamu mau ikut, aku bayari.’ tawar sang wanita.
‘Apa?’ harus diulang lagi rupanya.
‘Aku bayari, kalau kamu ikut. Aku juga akan ikut.’ jelas sang wanita.

Sampai akhirnya kebaktian selesai dan semua jemaat bangkit dari bangkunya dan berjalan ke pintu untuk menyalami pendeta, sepasang pria dan wanita itu tetap berbincang di bangkunya.

***

Jangan bayangkan adegan-adegan tersebut dilakukan oleh so-fascinating-woman dan hot-guy, dengan senyuman sumringah dan lirikan mesra. Adegan tersebut dilakukan oleh oma opa, dengan perkiraan umur 70 tahun ke atas. Keduanya berbadan mungil, agak bungkuk, kerutan menghiasi seluruh kulitnya, dan rambut sudah menipis dengan warna keperakan di sana sini.

Opa sudah tidak kuat lagi berdiri, pendengaran sudah berkurang banyak rupanya. Opa tinggal di panti jompo, yang setiap hari Minggu jam enam pagi kegiatannya adalah mengikuti kebaktian di gereja. Sementara Oma masih sehat, meski jalannya sudah tertatih-tatih, pendengaran dan mata masih OK karena Oma tidak menggunakan kacamata, tapi masih jelas membaca buletin gereja, dan memandang jauh teks lagu yang terpampang di layar.

Selain selalu kagum dengan semangat oma opa ini untuk mengikuti kebaktian pagi (dibandingkan dengan saya yang biasa datang dengan terkantuk-kantuk dan kerjaannya ngeliatin orang – itu buktinya bisa merekam jelas adegan-adegan tersebut di otak saya :P) saya juga membayangkan cinta di usia senja.

Suami si oma mungkin sudah tiada, demikian juga istri si opa. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, kecuali di gereja. Cinta yang timbul, pastilah bukan karena fisiknya. Jatuh cinta pada usia senja, memahami kelemahan pasangan, dan menikmati waktu yang tersisa, membuktikan bahwa cinta bisa dirasakan oleh semua usia.

20130303-223928.jpg

Foto di atas adalah salah satu pemenang World Press Photo yang secara rutin mengadakan kontes foto terbaik tingkat dunia. Dari awal melihatnya saat ditayangkan di harian Kompas, saya langsung membayangkan inilah contoh cinta usia senja. Saat sang wanita dengan sabar melayani sang pria, mengusap lembut badannya agar bersih. Sang pria, terlihat dari ekspresinya di cermin besar, nampaknya sudah lelah menghadapi hidup ini. Namun kesabaran sang wanita, yang terlihat dari pantulan di cermin kecil, membuatnya bertahan. Oh ya, sang wanita saat itu pasti juga sudah tak sekuat dulu lagi, rematik masih menyiksa tulang-tulangnya, namun ia lebih sehat daripada suaminya.

20130303-224008.jpg

Sebaliknya pada film kartun Up! karya Disney – Pixar, 10 menit adegan pertama sudah sanggup menggambarkan cinta antara sepasang manusia, hingga usia senja, dengan semua suka duka yang harus dilewati. Pada akhirnya sang Oma yang lebih dulu berpulang karena sakit, dengan menyisakan kesedihan yang sangat bagi Opa Carl. Opa yang tadinya selalu tersenyum dengan Oma yang ada di sampingnya, sekarang menjadi kehilangan semangat hidup.

Keberadaan seseorang yang kita sayangi, dan menyayangi kita amatlah penting untuk dijaga dan dipelihara. Saat fisik sudah tak semenarik dulu, saat semua yang terpampang di depan mata adalah episode duka (sakit-sakitan, pelupa, pemarah), menyadari pasangan masih setia mendampingi adalah anugrah yang luar biasa. Nikmati waktu yang ada, berikan yang terbaik bagi pasangan, dan saling memahami satu sama lain, adalah kunci cinta di sepanjang usia.

***

Artikel ini saya tulis sebagai kado pernikahan bagi Kompasianer Arba dan Kompasianer Elvini Effendi yang menikah tanggal 2 Maret 2013, selamat menempuh hidup baru, selamat berbahagia, dan semoga langgeng sampai aki nini ^_^

Maaf kalau artikelnya sotoy, secara saya sendiri baru beberapa belas tahun mengarungi hidup rumah tangga, makan asam garamnya belum banyak. Anyway, semoga pengalaman saya yang sedikit ini bisa menambah semangat sang pengantin baru yaaa…*semangat apa siiih? 🙄 :lol:*

Pesan sponsor : ditunggu artikelnya tentang
‘Cara Mendapatkan Jodoh di Kompasiana’
*nodong, lebih tepatnya…wkwkwk*

Sekali lagi, Selamat, dan Welcome to The Club!

***
sumber gambar :www.worldpressphoto.org, tumblr.com

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s