‘Kenapa sih? Kaya liat hantu.’ Vinda nyeletuk seperti itu, saat kutertegun memandang ke arah pintu.
Ve baru saja masuk ke kantin. Tetap dengan gaya khasnya. Rambut ekor kuda, poni menutupi keningnya, dan kacamata frame hitam menghiasi matanya yang indah. Untung aku segera menundukkan kepala.
‘Bennnnnny…kenapa siiih?’ Vinda lagi-lagi mengingatkanku. Kami sedang duduk berhadapan, menyantap makan siang di antara jeda jam kuliah.
‘Oh..ngga…baru inget kalau harus persiapkan materi praktikum. Cabut yuk.’ kataku sambil memaksakan senyum. Vinda cemberut. ‘Gimana sih Bennnny, kan belon abis makan akuuu,’ katanya manja.
‘Udah, nanti aku beliin kue ya. Yuk!’ aku segera memasukkan BB yang sedari tadi tergeletak di meja. Makan sambil BBan memang multitasking yang berguna, terutama saat aku sedang tak mau bicara banyak dengan Vinda.
Dengan mengomel Vinda meletakkan sendok garpunya. Sambil berdiri ia mengambil tasnya. ‘Tapi lain kali ngga gini ya Bennny,’ ancamnya.
Dari kejauhan, aku melirik Ve yang sedang mengantri membayar. Susu kotak lagi Ve?
***
Sebutlah aku lelaki tak punya pendirian. Cinta Ve, tapi mau saja jadian dengan Vinda. Setelah malam penegasan tersebut, linglung aku dibuatnya. Aku tahu, Ve milik Ted. Tapi rasa itu terlalu kuat, sejak saat aku pertama bertemu dengannya.
Cuek dan mandiri, itu kesan yang pertama kudapat. Masa Ospek telah membuktikan, ia bukanlah tipe cewek yang cengeng dan manja, meminta perhatian senior dan memanfaatkan mereka. Dengan gagah ia ikut saja dihukum push up bersama para pria karena terlambat, dan ikut demo membela teman-temannya yang dihukum panitia Ospek dengan berlebihan.
Ah ya, tentu aku tak pernah bercita-cita punya pacar aktivis. Tapi kemandiriannya yang membuatku salut, sehingga malah aku berharap bisa menundukkannya. Bisa membuatnya nyaman denganku, sehingga ia mau bermanja-manja.
Dan datanglah kesempatan itu, saat ternyata ku menjadi asisten praktikumnya. Aku mungkin bisa mendapatkan gelar asisten terfavorit karena keramahan dan kesediaanku untuk selalu membantu, terutama membantu Ve. Lama – lama kami kian dekat. Karena itu aku tahu juga tentang Ted, pria yang selalu diceritakan dengan binar-binar di matanya. Aku cemburu. Tapi keinginan untuk berdekatan dengannya, membuatku menelan bulat-bulat semua sakit yang ada, dan hanya berharap dapat terus mendampinginya.
Ternyata sakit itu adalah bola salju, yang makin lama makin membesar. Puncaknya adalah ketika Ve kembali menegaskan, arti Ted, dan artiku, baginya. Kecewa luar biasa. Meski aku telah mempersiapkannya sejak awal, tapi toh ketika saat itu datang, aku kelabakan juga. Tak dapat mengendalikannya.
Dimulai dengan menghapus kontaknya di BB dan semua percakapan yang ada. Semua percakapan yang rutin kulakukan untuk memastikan ia selalu baik-baik saja. Selanjutnya adalah menghindari pertemuan dengannya di kampus, sebisa mungkin.
Tentu saja aku masih tak sengaja melihatnya di perpustakaan saat ia membuka buku-buku tebal itu, sendirian. Ya, aku pernah di sampingnya, membacakan isinya sementara ia mencatat. Atau sebaliknya, aku yang mencatat, meski ia selalu protes, ‘Tidak selalu menjadi dokter itu tulisannya harus cakar ayam. Kalau apotekernya salah membacanya bagaimana?’ Waktu itu aku hanya bergumam, ‘Nanti kalau udah jadi dokter beneran, tulisanku akan membaik kok Ve.’ kataku asal. Ve melirik dengan sebal. Tapi itulah yang kurindukan.
Aku juga melihatnya terkantuk-kantuk menunggu di depan ruang dosen. Biasanya ada aku, mengajaknya bercanda, memberikannya susu kotak karena ia selalu lupa makan jika sibuk begini. Kali ini aku hanya bisa berbalik arah dan pergi, tak jadi menampakkan diri.
Ah,tentu saja ia tahu kalau aku menghindarinya. Ia memang tak menghubungiku lagi lewat BB, mumgkin Ted juga telah memperingatkannya. Tapi minggu pertama ‘gencatan senjata’ itu dimulai, praktikum, yang terpaksa menyatukan kami dalam satu ruangan, membuatku dapat melirik wajahnya yang menatapku dengan penuh tanda tanya, kenapa mendadak aku menghindarinya. Bahkan saat ia mendekatiku untuk bertanya materi praktikum, aku bergegas pergi, dan membiarkan ia menanyai Anto, asisten yang lain.
Pengecut.
Ya, sangat. Aku tak punya cukup nyali untuk berhadapan dengannya. Untuk berdamai dengan rasa sakit itu. Untuk membuat segala sesuatunya menjadi normal kembali. Normal, setidaknya tidak membuat kami saling menghindari.
Dan aku menambah rumit persoalan, dengan menerima permintaan Vinda menjadi pacarnya. Vinda yang seangkatan denganku, memang telah lama mengincarku. Rasanya semua akan ia lakukan, untuk medapatkanku. Dan saat ia mengirimkan BBMnya yang menggodaku pada malam itu, pada malam Ve hanya menganggapku sebagai teman, aku akhirnya menjawab ‘Ya’ atas ajakannya.
‘Kita sudah lama berteman, Benny. Kamu, suka aku ngga?’. Ya.
Ya Vinda, aku suka kamu. Suka namamu yang berhuruf depan: Ve.
***
Berbeda dengan Ve, Vinda justru sangat manja. Bagi teman-temanku, Vinda sungguh sempurna. Cantik, seksi dan menggoda. Bohong saja kalau tak ada yang harus menoleh dua kali padanya. Tapi seminggu dengannya, menikmati cantik-seksi-manja dengan kepala yang kosong dan terlalu banyak namaku dipanggil dengan nada panjang ‘Bennnnny’, membuatku jengah juga.
Digandeng dimana – mana, harus mengantar dia kemana – mana, dan tak boleh ucap apa – apa saat ia bercerita terus, terus dan terus tentang dirinya. Ah ya, dia memang cantik, karena itu banyaklah pria yang berusaha menarik perhatiannya. Dan semuanya itu diceritakannya padaku, yang katanya adalah pacarnya! Sungguh logika yang aneh. Atau ingin buatku cemburu?
Tak berhasil. Karena ‘hantu’ yang ia sebut kemarin, berhasil menutup mataku, mengunci telingaku, dan menguasai hatiku.
***
Dari kejauhan aku sudah melihatnya. Keluar dari gerbang kampus, aku lihat Ve, duduk di halte. Tasnya yang besar tergeletak lemah di sampingnya. Menunggu angkot pulang, seperti biasa.
Yang tak biasa, wajahnya nampak lebih pucat.
Kenapa Ve, lupa makan lagi? Sibuk tugas, kuliah, atau bimbingan? Dulu aku hapal benar jadwal Ve setiap harinya. Namun kini karena komunikasi terputus, aku kadang menebak jadwalnya kalau bertemu tak sengaja seperti ini.
Kini ia memiringkan kepalanya sambil memejamkan mata. Ve, selelah itukah?
Ingin kusediakan bahu ini untuknya, agar ia dapat beristirahat sejenak. Tidak, bukan untuk merebut ia dari Ted, tapi untuknya, untuk rasa sayang yang sudah terlanjur ada. Tanpa bisa memiliki, tak apa…
Tiba-tiba aku tersadar. Membencinya, dan merasa sakit luar biasa, bukanlah cinta yang sesungguhnya. Cinta hanya tahu memberi kok, dan terdapat rasa senang dan damai saat melakukannya.
…dengan memberikan bahu? Aku menggeleng. Terlalu beresiko. Resiko buat Ve, jika ada yang melaporkannya ke Ted. Resiko buatku, jika aku makin tak bisa melepaskan nafsu, nafsu untuk memlikinya.
Aku tahu yang lebih baik! Bergegas aku masuki kembali pelataran kampus. Setelah selesai, kuhampiri Ve, kupanggil namanya, dan membukalah mata itu, dan menatap heran. Komunikasi pertama yang kujalin dengannya.
‘Nih,’ aku angsurkan susu kotak itu ke depan wajahnya. Agak kaget, namun tak urung ia tersenyum juga. Diterimanya susu kotak itu sambil mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum, dan pamit pergi.
Seperti jaman dulu ya Ve. Saat semua diberikan tanpa pamrih. Saat cinta yang bicara, bukan nafsu. Nafsu untuk memiliki, nafsu untuk menguasai.
Hup. Dengan ringan aku melangkah. Kedamaian melingkupi hatiku. Sudah siap untuk cinta yang baru..
***
Sumber gambar : cdn.graphicsfactory.com