Banjir di Jakarta dan segala liputannya, ternyata dapat menampilkan sisi lain manusia metropolitan.
Seorang presenter berita, baru mungkin ya, bertanya dengan serius ke seorang korban banjir ‘Banjir ini, mengganggu ngga Pak?’
Hm? Kalau saya yang ditanya, maka saya akan membuat pilihan jawaban:
A. Oh ngga mbak, biasa aja kok, tiap tahun ini… *sambil sibuk ngeluarin air keluar rumah*
B. Menurut lo? *sambil menatap heran. Penting ya mbak?*
C. Ya iya lah mbak! Mbak mau bantuin? Jangan nanya doang dong! *sambil ngacungin gayung*
Nah lo..jadi pertanyaan si mbak presenter ini ibarat tes psikologi. Pilihan jawaban memicu kesimpulan, kepribadian si korban seperti apa.
Permasalahannya, apa perlu? Bukankah tindakan penduduk Jakarta sudah memperlihatkan siapakah mereka terhadap sesamanya?
Ada yang langsung mengulurkan tangan dengan pergi ke pusat-pusat banjir, alih-alih menyumbang uang. Karena saat ini dibutuhkan banyak sukarelawan. Ada yang berbagi ransum yang dipunyai dengan tetangganya. Ada yang menyediakan jalan depan rumahnya untuk parkir kendaraan.
Ada yang sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang menyalahkan kota lain sebagai penyebab banjir. Ada yang menduga banjir ini akibat adanya patung wanita telanjang di istana.
Ada juga yang memanfaatkannya untuk mendapatkan uang tambahan, untuk memalak orang, sebagai tontonan, sebagai bahan candaan. Atau memikirkannya sebagai peringatan dari Tuhan. Menganalisis sebab terjadinya. Menikmati setiap aliran air yang lewat depan rumahnya. Atau cuek saja, ke mall jalan terus, nonton Jackie Chan on shedule, ngapel pacar pas malming juga tetap.
Banjir menunjukkan pada kita, pameran kepribadian manusia saat menghadapi bencana. Semoga ngga distorsi, sampai melupakan fokus perhatian kita yaitu:
Bagaimana mencegahnya agar tak terjadi lagi.
Ini sudah berulang-ulang lo. Saya di daerah kadang gemas juga, menyaksikan ini semua berkali-kali. Iya, saya memang sotoy ngurusin negara orang, tapi lebih karena saya prihatin. Belajar, kok ngga selesai-selesai. Hasilnya belum kelihatan, malah dengan munculnya korban jiwa, menambah nelangsa hati, kok bisa sampai terjadi.
Rasanya kepribadiannya perlu ditambah nih. Kepribadian untuk peduli terhadap pencegahan banjir, bukan menghadapi banjir. Sang Guru sudah menunjukkan karakteristik bencana ini sejak bertahun-tahun yang lalu, sang murid harus lolos ujian tahun depan.
***
Sumber gambar: solopos.com