Aku sudah duduk manis di 6B, ketika pria itu datang. Biasa saja, pakai ransel hitam, kemeja warna gelap (aku lupa warnanya) yang dikeluarkan, dan celana jins. Iseng kuperhatikan sepatunya. Boots, warna coklat. Ada sedikit noda lumpur.
Setelah meletakkan ransel di atas, ia duduk di sampingku, 6C. Mulailah ia mengeluarkan Blackberrynya, membalas beberapa pesan, sebelum mematikannya. Setelah menaruhnya di saku kemeja, kini ia memasang seatbelt. Terbatuk-batuk beberapa saat, mungkin karena banyak merokok (?). Mengambil dua permen dari nampan yang dibawa pramugari (aku tidak mengambilnya) dimakannya satu, sedangkan yang satu lagi dimasukkan ke saku.
Aku sendiri sedang sibuk menghabiskan bacaan yang disediakan di depanku. Ada majalah traveling, petunjuk keselamatan selama penerbangan, katalog produk, dan majalah panduan video yang bisa dipilih. Owh, menarik. Aku mulai meneliti daftar yang ada. Nampaknya film kartun tentang hotel itu jadi andalan mereka sekarang. Dipasang besar-besar di sampul majalah. Ku bolak balik lembar demi lembarnya, ah, rasanya ini menarik. Dari review singkat di majalah tersebut, ada film Monsiuer Lazhar, menceritakan tentang guru dari Alzhajair yang mengajar di Kanada.
Setelah pesawat take off, video sudah dapat diakses. Berbeda dengan pria di sebelahku, aku mulai dengan menekan-nekan layar sentuh di depanku mencari video yang kuincar dari tadi, tanpa membuka plastik kemasan headphone terlebih dahulu. Sementara ia mengenakan heahphone dulu, baru mencari video yang ia inginkan. Ah, mestinya film itu ada di Blockbuster Movie. Ehm..ah, ini dia! Kucek bahasanya, En, English. OK, tak apa, sekalian belajar.
Film telah mulai ketika kutancapkan plug earphone di sisi kiri bangku. Kupasang di telinga, dan mulai terdengar percakapannya. Subtitle muncul, menggunakan bahasa Inggris. Ehm? Percakapan bahasa Inggris, dengan subtitle bahasa Inggris? Kudengarkan dengan seksama percakapan dalam film. Astaga, bahasa Prancis! Pantes..kok aneh…Dudulz, mestinya dari judul filmnya aku sudah curiga.
Kehilangan minat menonton film berbahasa Prancis, kusimpan headphoneku di depan kursi. Pria di 6A sudah tertidur dari tadi, semenjak aku baru duduk di kursi. Ia sudah memasang seatbeltnya, dan nampaknya memang berencana tidur hingga tiba. Iseng ku melirik ke pria di 6C, apa sih yang ditontonnya? What?? Nonton film Indonesia? Cinta-cintaan lagi! Aku ingat pernah melihatnya di majalah panduan tadi, dan seperti biasa pasti aku lewati. Film-film romantis hanya melemahkan jiwa. Seharusnya yang kita tonton adalah film-film yang memberikan motivasi, bukan mereduksi keteguhan hati.
Tapi tak urung aku teruskan aksi mengintipku. Penasaran. Soalnya cowok kok doyan drama menye-menye seperti ini. Penampilan sih cowok banget, tapi kesukaan ternyata bisa berbanding terbalik denganku yang cewek tulen, tapi lebih menggemari drama kehidupan, bukan percintaan.
Oooh..ceweknya suka ke cowok itu, siapa sih nama pemeran cowoknya…mmm..dulu pernah pacaran sama artis juga. Ah, lupa! Ceweknya, yah imut lah. Karena ngga bisa mendengar isi percakapannya, aku hanya membaca gerak bibirnya. Tanpa sadar kepalaku makin miring ke kiri.
‘Suka juga?’ suara pria itu mengejutkanku. Dengan kaget aku duduk tegak di kursiku, kembali menatap Monsieur Lazhar yang masih ditayangkan. Rupanya kepalaku menghalangi pandangannya. Kini ia melepas headphonenya. Mati deh! Ganggu orang nonton. Namun ia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi, dan bibirnya yang berwarna kegelapan.
‘Ah? Eh..ngga..cuma heran aja..Masnya kok nonton itu…’ jawabku jujur.
Percakapan kami terhenti. Pramugari mengangsurkan kotak kue wana putih. Aku membukakan meja untuk pria nomor 6A, dan menaruh kotak itu disana. Aku sendiri membuka mejaku, dan pramugari langsung meletakkannya di depanku. Demikian juga dengan pria nomor 6C. Lalu mulailah kami ditawari mau minum apa. Pria nomor 6C meminta jus jeruk tanpa es, sedang aku meminta kopi susu (kopinya dikit aja ya, pakai gula). Adegan berikutnya adalah kami menerima minuman masing-masing. Gelas plastik bening untuk pria nomor 6C, dan aku gelas kertas beserta dua sachet gula. ‘Spoonnya di tisu ya mbak’ pramugari menjelaskan.
Sambil mengaduk kopiku dan ia meminum jusnya, ia berkata ‘Judulnya Falling In Love’ katanya tanpa ditanya. Aku mulai memperhatikan film itu lagi. Kini kami sedang menyaksikan film tanpa suara. Dia lebih memilih menjelaskannya padaku dan bersiap mendengar perkataanku, karena headphone kini sudah ia taruh di depan bangku.
‘Cinta-cintaan ya?’ tanyaku kepadanya. Sebenarnya tak perlu tanya begitu. Sudah jelas adegannya peluk-pelukan, dan judulnya…? Ah, dasar pelupa! Ketahuan basa basinya!
‘Iya’ katanya sambil tertawa. ‘Kok tanya begitu?’ kini matanya sudah melirikku. Aku bepura-pura tak melihatnya. Mataku tetap tertuju ke film di depannya.
‘Ya aneh aja. Masnya kok suka drama mellow gini’ jawabku sekenanya.
‘Ngga boleh?’ senyumnya lagi. ‘Saya suka. Karena mengingatkan tentang jatuh cinta. Perasaan paling indah sedunia’ katanya menjelaskan.
Kini kupandang wajahnya sambil tersenyum. ‘Masnya baru jadian ya?’ kataku menggoda.
Dia ikut tersenyum. ‘Malah baru putus’ jawabnya singkat. Tanpa menghilangkan senyum itu dari wajahnya.
Aku kaget mendengarnya. ‘Hah? Ups, sorry mas…’ agak menyesal aku menanyakan hal yang begitu pribadi padanya.
‘Ngga apa. Masa sedihnya sudah lewat kok. Saya toh tetap harus melangkah, dengan atau tanpa dia’ katanya pelan, tetap dengan senyum yang sama.
‘Lalu lihat film beginian, ngga tambah sakit hati mas? Keinget mantan?’ tanyaku ingin tahu.
‘Ingat pasti’ katanya sambil memandangku. ‘Tapi cara mengatasinya adalah dengan mengingat saat-saat saya jatuh cinta padanya, bukan saat diputuskan. Itu, untuk menjaga kemurnian cinta saya.’
Aku berkata dengan hati-hati ‘Mmm..itu bukan penyangkalan ya mas?’
Dia tersenyum lagi. ‘Penyangkalan, bagi yang tak ikhlas. Bagi saya, mungkin ia akan lebih berbahagia bila tidak dengan saya. Perasaan mencintai, itu perasaan yang membahagiakan. Meskipun kini ia tak membalasnya, cinta saya hanya untuk dia, dan itu membuat saya bahagia’.
Aku menggelengkan kepala dengan gusar. ‘Mas, itu konsep cinta yang gila’ mulai deh keluar tandukku. ‘Mencintai itu harus memiliki. Di luar itu, hanya bikin sakit hati’.
‘Jangan campurkan dengan nafsu’ katanya sambil tertawa. ‘Nafsu itu seperti ingin memiliki, ingin menguasai, ingin dicintai kembali. Kalau cinta, ya cinta saja. Berikan dengan tulus padanya, meski ia tak tahu siapa yang memberikan, meski ia hanya bisa menerima, meski ia tak bisa membalasnya.’
Aku mengernyit. ‘Konsep yang aneh Mas’ kataku terus terang. ‘Sampai kapan bertahan dengan cinta yang tak kemana-mana itu?’ kataku sambil menatapnya tajam.
‘Sampai saya temukan cinta yang lain’ katanya mantap.
‘Ah!’ sebuah bantahan kembali melintas di benakku. ‘Bagaimana bisa menemukan cinta yang lain, kalau yang lama tidak pernah Mas lepaskan?’
Dia terdiam. Memikirkan jawaban. Aku menyimak kembali film yang diputar. Ah, ada pria lain rupanya yang suka dengan cewek tadi.
‘Mbak tahu, saya percaya keajaiban. Suatu saat, saya akan dipertemukan dengan dia yang akan mendampingi hidup saya. Saat itu terjadi, saya harus rela mengalihkan cinta saya pada wanita tersebut.’ ucapnya pelan, kali ini tanpa melihatku.
‘Sorry saya banyak tanya’ merasa tak enak, ku ucapkan permintaan maaf itu. Masa’, baru kenal sudah menginterogasi sedemikian rupa.
‘Ngga apa mbak’ katanya kembali ceria, kali ini dengan senyum lebarnya ‘Saya juga heran kok bisa cerita banyak gini ke mbak’.
Aku tersenyum. OK stranger, lebih baik kuhentikan sesi wawancara yangtak mengenakkan ini. Mataku melirik ke jendela di sebelah pria nomor 6A. Awan putih nampak mendominasi pemandangan. Akhirnya selesai kuhabiskan kopiku. Pramugari kini mengumpulkan gelas dan kotak kue yang telah kosong. Punyaku, dan pria nomor 6C masih utuh tergeletak di atas meja masing-masing.
‘Monsieur Lazhar’ kata pria nomor 6C. Ia sedang menatap layar videoku. Eh, kok tahu? Aku menatapnya heran.
‘Nominasi Oscar mbak’ katanya sambil tertawa. ‘Ada guru yang bunuh diri di kelas’.
Wow wow wow..semenarik itukah jalan ceritanya? Kini kami sama-sama melihat film yang ditayangkan di depanku.
‘Wah, masnya suka nonton film ya? Kok tahu banyak?’
Ia mengangguk. ‘Semua tentang cinta, saya suka’ tawa yang renyah kembali menghiasi wajahnya.
‘Cinta? Dari tadi ngga ada kok!’ kataku ngotot. Tidak ada adegan peluk dan cium jika sekilas ku perhatikan.
‘Bukan mbak, film ini menceritakan cinta guru ke murid-muridnya. Ia berusaha menghilangkan trauma murid-murid itu atas bunuh diri yang dilakukan oleh guru yang lama. Padahal Monsieur Balzhar juga sedang berusaha melupakan trauma atas kematian istrinya. ‘ Dia menarik nafas sebentar. ‘Cinta itu perlu pengorbanan mbak. ‘
‘Biar akhirnya bahagia ya?’ kataku menebak.
‘Akhirnya dia dipecat kok mbak’ katanya tenang. ‘Tapi murid-muridnya melepasnya dengan tangisan. Cinta bisa jadi tak memberikan hasil yang kita harapkan. Tapi cinta akan membawa perubahan. Kini murid-muridnya bisa mengatasi trauma, bahkan saat guru mereka sudah tidak di tengah mereka’.
‘Oh no..cinta tak berbalas lagi?’ kataku sangsi.
‘Ngga mbak, jangan khawatir. Cinta itu akan mereka berikan pada orang lain, sang guru pengganti. Cinta ngga akan berhenti, berputaaaar terus’ ia berhenti sebentar ‘dan..mbak percaya karma? Suatu saat, Monsieur Lazhar akan menerima cinta yang tulus, entah dari siapa, karena cinta yang ia telah berikan pada murid-muridnya’
Aku terdiam. Konsep cinta yang mungkin sudah melampaui akal. Universal. Lebih mengarah ke hal-hal yang religius. Sang Pencipta.
‘Cinta itu, bikin buta ya?’ aku hanya mengungkapkan yang ada di kepala.
‘Justru jangan sampai mbak, tetap gunakan logika. Kalau ngga, bisa keluar dari jalurnya, dan kita ngga bisa mengendalikan. Jatuh cinta saja sudah tidak bisa direncanakan, jangan sampai proses untuk mendapatkan cinta, menjadi sesuatu yang bagai bola liar, tabrak sana sini, sehingga banyak yang tersakiti. Cinta, seharusnya ngga sakit mbak’.
Aku tersenyum. Pria nomor 6C ini sungguh pintar bicara. Entah apa ia melakoninya, atau ia hanya banyak membaca, menganalisa, atau berdiskusi tentang hal ini. Tapi apapun itu, wawasannya telah membuka mataku.
Selanjutnya adalah kami yang sama-sama terdiam. Ia memandang ke film yang diputar di depan kursinya, demikian juga denganku. Dan kami sama-sama lupa memasangkan headphone di telinga. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Akhirnya pengumuman dari pilot bahwa pesawat akan landing sebentar lagi memecahkan suasana hening itu. Aku sibuk memasukkan kotak kue milik pria nomor 6A ke bangku di depannya, dan menutup mejanya. Pria nomor 6A masih tertidur, biar nanti saja pramugari yang membangunkannya begitu sudah saatnya penumpang menuruni pesawat. Aku sendiri memasukkan kotak kue itu ke tas yang kuletakkan di bagian bawah kursi. Selesai kututup mejaku, kulihat pria nomor 6C juga sudah melakukannya, dengan kotak kue terletak di pangkuannya.
Film otomatis berhenti. Monsieur Lazhar hanya sampai dipanggil dewan sekolah, atas pengaduan orang tua murid yang mengetahui kasus istrinya. Film Falling In Love juga sudah terhenti. Kini pria nomor 6C mengeluarkan permen dari sakunya, merobek bungkusnya dan memakannya.
Landing berlangsung dengan mulus. Aku bertahan tak membuka seatbelt, meski pesawat kini dalam keadaan aman, tinggal menunju tempat parkiran saja. Aku juga bertahan tidak menyalakan handphone, menunggu keluar dari pesawat saja. Nampaknya beberapa orang sudah melakukannya, terdengar dari nada dering yang bersahutan.
Pria nomor 6C juga melakukan hal yang sama. Ia baru membuka seatbeltnya saat lampu penanda seatbelt harus dipasang, meredup. Ia bangkit, dan bertanya dengan ramah padaku sambil membuka pintu bagasi kabin ‘Ada yang mau diambil dari atas mbak?’
Aku menunjuk tas yang ada di bawah ‘Ngga,ini saja’.
Ia kemudian mengambil ransel hitamnya, mengenakannya di sisi kanan, dan mengangsurkan tangannya.
‘Senang ngobrol dengan mbak’. Aku tersenyum. Kuulurkan tangan kananku, kujabat tangannya. Tangannya kasar, menggenggam dengan erat, namun tak membuat kesakitan. Bahkan, ada rasa…nyaman.
Setelah melepaskan jabatnya, ia bergerak ke depan. Aku masih mengambil tas yang di bawah, bangkit, berjarak beberapa penumpang darinya. Pintu belum dibuka, namun semua orang telah berdiri mengantri. Eh, tidak semua, pria nomor 6A masih tertidur nyenyak. Asal ngga dibawa balik aja…
Sambil menunggu aku memandang punggung pria nomor 6C. Konyol. Ngobrol sekitar 45 menit, tanpa tahu nama. Tanpa menukar nomor telepon, atau PIN BB, atau lainnya yang bisa membuat ku berkomunikasi dengannya. Pria yang menarik, dengan semua pendapat dan wawasannya. Dan konsepnya tentang cinta..betapa beruntung wanita yang kelak akan dicintainya…
Haruskah…kukejar dan kutanya semua yang ingin kutanyakan? Ah, nanti disangka ngotot lagi, dan dia bisa berbalik menjauhiku. Ah, sudahlah, love will take you back. Lagian, kalau sudah jodoh, juga ngga akan kemana.
Akhirnya pintu dibuka. Penumpang kelas bisnis melangkah keluar pertama. Beberapa penumpang lain, dan setelah itu pria nomor 6C. Mataku lekat menatapnya. Sampai jumpa pria nomr 6C…
Dan kemudian dia menoleh. Tak sempat aku mengalihkan pandangan, senyumnya yang lebar muncul kembali.
‘Sampai ketemu ya mbak!’ katanya ceria, dan melangkah keluar.
Ah, entah kenapa, kali ini aku yakin….