Resensi Novel Grafis: Sepeda Merah

Sebagai pecinta komik, saya juga doyan melahap novel grafis, yaitu secara singkat, novel dengan gambar. Sedangkan merujuk pada definisi di Wikipedia,

A graphic novel is a narrative work in which the story is conveyed to the reader using sequential art, either in an experimental design or in a traditional comics format. The term is employed in a broad manner, encompassing non-fiction works and thematically linked short stories as well as fictional stories across number of genres.

Di koleksi saya ada Raditya Dika yang juga membuat jenis ini bekerja sama dengan seorang ilustrator, Dio Rudiman, lalu ada Cerita Lala karya Sheila Rooswita, dan Tita Larasati yang membuat beberapa novel grafis yang menggambarkankisah hidupnya.

Kim Dong Hwa merupakan salah satu penulis manhwa (komik) yang paling berbakat dan melekat di hati orang-orang Korea. Kisah-kisah pendeknya penuh dengan kelembutan. Kisah-kisah itu dibangun dengan mengandaikan dirinya sebagai tukang pos, yang menggambarkan perjalanannya dalam puisi.

Menjadi penulis itu mirip dengan menjadi tukang pos.
Kim Dong Hwa

Ada yang disampaikan, membangkitkan harapan dan kebahagiaan.

Pada karyanya, Sepeda Merah, Yahwari #1, terbagi atas 30 kisah atau 6 bagian yang menceritakan Kisah di Desa Yahwari, Kisah tentang Bunga, Kisah tentang Para Ayah, Kisah tentang Para Ibu, Pembawa Kabar Gembira dan Kisah Penduduk Seberang. Semuanya terangkum dalam 141 halaman berwarna, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Puisi-puisi itu masuk dalam balon-balon dialog. Dalam buku ini kita dapat menyaksikan seorang tukang pos yang mncintai pekerjaannya, melakukan pekerjaannya dengan penuh ketulusan dan keriangan, membagi sayang dan mendapat sayang dari semua orang, serta memperhatikan lingkungan. Ia selalu menyapa dengan ramah, menikmati pemandangan, menyempatkan diri menanam bunga di bawah jembatan, dan menyampaikan kabar.

Perihal menyampaikan kabar ini terkait dengan usia harapan hidup masyarakat Korea yang tinggi. Sehingga umum terjadi, banyak orang-orang tua yang tinggal sendiri di penghujung desa. Mereka kesepian, dan kedatangan tukang pos sepeda merah selalu dinanti.

Meski tak membawa sepucuk suratpun, karena era telah berganti dengan era digital dan ponsel, tukang pos akan menyampaikan kabar apa yang terjadi di kota. Ia akan menyempatkan diri menanyakan kabar, sekedar duduk menemani, atau memberikan permen pada anak kecil yang bosan.

Kadang tukang pos menjadi pusat bahasan. Di lain waktu ia hanyalah peran pembantu. Bahkan Kim Dong Hwa bisa menjadikannya sebagai orang ketiga, yang menyaksikan semua hal dalam satu kisah terjadi, dan menuliskannya dalam bait-bait puisi.

Membaca buku ini seakan larut dalam romantisme Tukang Pos dalam menghadapi hidupnya. Tukang pos yang berdedikasi pada pekerjaannya. Kisah cintanya adalah kisah yang ‘tak kemana-mana’, hanya di pertemuan saja, menikmati setiap debarnya, meski tak pernah berlanjut ke tahapan atau rasa berikutnya. Namun hal tersebut tidak menyebabkannya galau dan putus asa. Ia tetap tersenyum, terus menebarkan cinta bagi semua.

Buku ini juga memperlihatkan, puisi tak harus berbentuk tulisan yang diatur diksi dan rimanya. Mengalir saja. Yang penting jujur ingin bercerita. Tanpa gambarpun, puisinya tetap dapat dinikmati. Berikut salah satu puisi yang ada pada Kisah 3,

Rumah Sang Penyair

Setiap pagi, saat menyiapkan pekerjaanku, aku akan mencari satu alamat tertentu di antara amplop-amplop.
Yaitu rumah sang penyair, yang tinggal di perempatan Sedong.
‘Ada satu!’
Aku gembira kalau menerima sepucuk surat untuk sang penyair, seolah-olah menemukan daun semanggi berhelai empat.
Setelah desa Yetdong, aku tiba di Sedong.
Dan aku pergi ke depan rumahnya.
Portal dan gerbangnya terbuat dari kayu alam.
Kotak suratnya mirip dengan rumah burung.
Aku membukanya dengan perlahan seolah-olah aku mengambil telur-telur.
Ada pesan kecil yang terlipat,
‘Terima kasih Pak Tukang Pos’
Seperti biasa tulisannya rapi.
Kutaruh suratnya dalam kotak tempat pesan tadi berada.
Sang penyair selalu meninggalkan sebait puisi untuk berterima kasih padaku.
Kemudian aku menyusuri jalan rumahku.
Di bawah pohon tua, di pintu masuk desa, aku membuka pesan itu dan merasa sangat bersemangat, seperti kalau aku membaca surat cinta.
Aku penonton dari kehidupan sang penyair.
Ini puisi ke 76.
Ini bahkan bisa dijadikan buku.
Satu-satunya koleksi di dunia. Puisi yang diciptakan untuk seorang tukang pos.

20130102-010442.jpg

*Niat baca ngga siiih?*

akan berlanjut ke Sepeda Merah:Bunga-bunga Hollyhock #2

4 comments

    • Iya mbak Della, bagus loh novel grafisnya. Istimewa, krn ia mengambil obyek2 yg biasa, dan bisa menyisipkan pesan kehidupan di sana. Buat saya ini luar biasa, seperti yg mbak Della sudah lakukan dengan foto dan puisi2 Mbak. Sy masih belum bisa ^_^

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s