‘Kamu cantik kalau ngga pakai kacamata.’
Aku merengut. Jadi selama ini aku jelek?
Dan wajah salah tingkah itu memerah.
‘Maksudku…lebih cantik kalau ngga pakai kacamata,’ katanya mengoreksi.
Tak pelak aku tersenyum. Ah dia masih peduli perasaanku.
‘Aku ngga pake untuk menyesuaikan diri aja. Masa kondean ala Ibu Kartini gini pakai kacamata. Jadi sementara pakai softlens aja,’ kataku menjelaskan. Perlu waktu lama bagi Mama untuk memaksaku melepas kacamataku, demi pernikahan Kak Mira. Dan Setyo yang ikut hadir nemenin mamanya yang satu arisan dengan mamaku, terheran melihatku tanpa kacamata hari itu. Mungkin ia terbiasa melihatku dengan kacamata tebal, berbingkai lebar, yang menghimpit hidungku yang mungil.
‘Yah…kalau di kampus begini aja,’ sarannya pelan.
Aku nyengir.
‘Aku ngga mau ah pakai softlens. Mesti rajin bersihin supaya kumannya ngga muncul. Bahaya, mata nih aset satu-satunya,’ jelasku padanya.
Setyo menatap heran. ‘Maksudku juga bukan softlens. Itu… kacamatamu buka aja,’ sarannya sok teu.
Aku tertawa.
‘Wah, kalau kulepas, jangankan kuman, gajah di depan matapun aku tak nampak,’ kataku sambil terbahak.
‘Masa?’ ia mengernyit tak percaya.
‘Beneran,’ kataku yakin. ‘Kalau aku lepas softlens ini, dan kamu berdiri di sana,’ tunjukku pada stan kambing guling, tempat ia mendapatkan sayatan daging itu di piring yang sedang dibawanya, ‘aku pasti ngga nyadar kalau itu kamu. Yang kelihatan cuma postur tubuhmu, sama kamu pakai baju warna apa. Tapi wajahmu, jenis bajumu, aku ngga bisa lihat,’ jelasku santai. Sudah terlalu sering menjelaskan ini ke mereka yang bertanya, mampukah aku melihat tanpa kacamata.
‘Wih..sampai segitunya ya…’ ia lupa memasukkan potongan daging-daging itu ke mulutnya. ‘Meski aku tadi bisa merasakan pasti ada kamu begitu masuk ruangan ini.’ Lalu belum sempat aku bertanya maksudnya apa, dengan cepat ia beralih topik.
‘Lalu, kamu ngga pingin bisa terbebas dari kacamata?’ tanyanya serius. Lagi-lagi ia membiarkan garpu itu tetap tertelungkup di piringnya.
‘Ya..mungkin pingin,’ jawabku ngga yakin. Terbiasa menggunakannya sejak kecil, aku menganggap kacamata adalah mata ketiga dan keempatku, sudah mendarahdaging. ‘Tapi kalau mengingat banyaknya kerepotan yang bakal aku ciptakan, kayanya ngga deh,’ kataku sambil tertawa. ‘Kalau sampai aku ngga bisa lihat, yang repot orang sekitar. Ntar aku tabrak ini itu atau injak kaki orang, malah bubar semua,’ aku terbahak dan ia cuma nyengir.
‘Hmm…kamu ngga tau sih…’ gumamnya.
‘Eh? Ngga tau apa?’ tanyaku ingin tahu. Susah juga ya ngomong sama Setyo, suka ngga nyambung gini.
‘Ntar liat aja,’ katanya sambil tersenyum menatapku, dan mulai memasukkan potongan daging itu ke mulutnya, seolah aku adalah pembangkit nafsu makannya.
*
Sejak pertemuan itu tak ada lagi interaksiku dengan Setyo. Ehm..mungkin yang kumaksud: interaksi langsung. Mama sibuk cerita tentang keluarga mamanya Setyo, yang tentu saja menyangkut anak sulungnya yang dia banggakan, ya si Setyo itu. Kak Mira yang sudah menempati rumah baru, yang aku kira tidak pernah tahu siapa anak teman Mama yang bernama Setyo, tahu-tahu kalau ke rumah jadi rajin nanya dia di kampus gimana, di senat dan di klub basketnya. Aku bilang aku bukan pengasuhnya, jadi ngga sempat ngintilin kemana-mana. Kak Mira cuma terbahak sambil mencubitku.
Lalu tibalah hari itu, hari Jumat siang, Setyo mengajakku makan malam.
‘Besok malam kujemput ya. Kita dinner di Dans Le Noir. Jam 7 tepat. Dandan biasa aja, pokonya yang kamu nyaman. Dan…ngga usah pakai kacamata,’ katanya sangat yakin.
Aku membelalak. ‘Lo, ngga bisa begitu! Aku akan sangat-sangat terhambat…dan yang pasti…ngerepotin kamu…’ kataku memprotesnya.
‘Ngga apa,’ katanya sambil tersenyum. ‘Aku yang akan jadi matamu.’
*
Malam itu kunantikan dengan berdebar, bunyi mobil berhenti di luar pagar. Kacamata terakhir kukenakan saat mengecek riasan dan penampilan. Begitu OK, aku taruh di tempat kacamata, dan dengan agak perlahan menuju ruang tamu. Mama hanya berkata lembut selamat menikmati malam minggu, dan meski aku tak dapat melihat wajah Mama, aku yakin beliau mengucapkannya sambil tersenyum.
Lalu aku mendengar bel di gerbang berbunyi. Mama mendahuluiku ke pintu untuk membukakan gerbang. Kalah cepat, terutama karena aku tak melihat dimana kunci itu berada. Samar aku mendengar Setyo berbicara dengan Mama, memberikan bungkusan yang katanya dari mamanya, lalu mereka bersama menuju tempatku berdiri.
‘Ayo Marsha, kita pergi ya,’ sapanya lembut. Aku mengangguk. Setelah pamit pada Mama, aku mengikuti tubuhnya yang berjalan di depanku. Ia membukakan pintu mobil untukku dan menutupnya. Sambil menyalakan mesin mobilnya, ia mengatakan lagi kata-kata yang mungkin sudah jadi trademarknya.
‘Kamu cantik lo kalau ngga pakai kacamata ‘ katanya sambil… mungkin ya, menatapku. Yang pasti wajahnya menoleh padaku.
Aku terdiam.
‘Setyo…apakah hal itu sangat penting bagimu?’ Ada rasa sedih yang menelisip, mengingat ia yang paling perhatian tidak bisa menerimaku apa adanya.
‘Bukan penting bagiku, tapi penting bagimu untuk mulai melepaskan diri dari ketergantungan berkacamata. Untuk hal-hal yang ngga perlu detail, coba deh dilepas. Biar matanya ngga manja juga, dibantuin terus,’ kini ia mulai mengemudikan mobilnya.
‘Misalnya…?’ tanyaku ingin tahu. Perasaan semua aktivitas perlu deh pakai kacamata.
‘Ya misalnya kalau lagi dalam perjalanan, liburan, kayanya ngga perlu deh pakai. Atau…pas lagi sama aku. Bukan, bukan karena aku ngga suka,’ sambungnya cepat, ‘tapi karena aku bersedia jadi mata kamu.’
Aku ngga tahu mesti gimana, tersenyum malu atau terbelalak heran. Akhirnya hanya diam yang tersisa sepanjang perjalanan.
*
‘Ini tempat apa Setyo?’ tanyaku ngeri.
Resto keren berbau Prancis yang Setyo ucapkan kemarin, ternyata depannya saja yang mewah. Dalamnya luar biasa gelap, dan Setyo sendiripun harus meraba dinding dengan tangan kanannya, untuk menemukan tempat duduk kami. Tangan kirinya kucengkeram erat saking takutnya.
Pelayan menyiapkan kursi untuk kami, dan Setyo mengatakan dia sudah pesankan menu saat reservasi. Setidaknya satu hambatan terlewati, bagaimana baca menu kalau gelap-gelapan begini.
Aku meraba-raba meja di hadapanku, ada apa saja sih di atasnya? Di sisi kanan ada pisau dan garpu, lalu sendok kecil, dan serbet. Di sisi depan kanan…
…hampir aku menumpahkannya. Tapi untung tangan Setyo juga ada di sana, sehingga dengan cepat ia menangkap gelas yang miring.
‘Ups, sorry!’ seruku merasa bersalah.
‘Ngga apa,’ kata Setyo sambil tertawa. ‘Nanti kau akan terbiasa. Coba, gunakan indramu yang lain saat matamu ngga bisa dimanfaatkan,’ jelasnya.
Aku coba. Dan ternyata berhasil lho. Aku tahu hidangan pembukanya adalah sup asparagus, dari rasa dan teksturnya. Lalu ada steak medium rare, aku masih bisa merasakan dagingnya yang juicy. Kemudian hidangan penutup adalah es krim coklat dengan selai strawberry di atasnya. Semua bisa kutebak tanpa perlu melihat.
Saat aku menyantap es krimku, tak sabar aku tanyakan pada Setyo, apa maksudnya mengajakku ke resto dengan defisit listrik seperti ini.
‘Supaya aku bisa merasa, gimana rasanya jadi kamu kalau tanpa kacamata. Biar kamu lebih pede lagi. Kalaupun gelas itu harus tumpah, penyebabnya adalah kita berdua,’ ia menjelaskan dengan tenang.
‘Kok…kamu ngebelain banget sih Set?’ tanyaku perlahan. Sendok es krim kuletakkan. Jantungku sedang tak karuan.
‘Yah..karena aku sayang kamu Marsha. Ijinkan aku jadi penjagamu ya…saat mataku masih bisa menjadi matamu, atau jika kelak tak bisa lagi, aku tetap ingin selalu mendampingimu,’ katanya pelan.
Aku terdiam. Mau jawab apa juga bingung, dia toh tak bertanya, seolah sudah tahu jawabannya.
‘Ngomong-ngomong Marsha, es krimmu rasa apa?’ tanyanya ngga ada hubungannya. Dalam hati aku mengeluh, kok yang tadi ngga dilanjutin sih…
‘Rasa coklat,’ jawabku malas.
‘Oh, yang aku rasa strawberry. Nyicipin dong. Kamu mau nyicip punyaku Marsha?’ tanyanya.
Aku mengangguk. Lalu selanjutnya tersadar mana mungkin dia melihatnya.
‘Agak maju ya biar aku bisa suapkan,’ katanya menyarankan. Aku turuti saja. Lalu…
..baru kali ini aku rasakan es krim hangat.
Mungkin…keuntungannya berada di Dans Le Noir, kau tak perlu menutupi wajahmu yang tersipu-sipu…
***
Dans le noir: dalam gelap
IndriHapsari
Romantis ce ritanya. Itu dibagian akhir ciuman atau memang ada eskrim hangat he he he….
Hahaha tebak ya 😀