Maaf ya kalau sebelumnya ada yang sudah dianugrahi gelar ibu bangsa, karena sesungguhnya Kartini lebih layak mendapatkannya. Karena beliaulah muncul banyak perempuan perkasa, yang punya pikiran maju dan ngga mau tergantung pada laki-laki. Dan kamu wahai wanita malah mau balik untuk memenuhi otakmu dengan pemikiran laki-laki? Apa ngga malu?
Memiliki pemikiran sendiri, bukan berarti jadi merendahkan laki-laki, atau membangkang suami. Pemikiran yang mandiri akan membuatmu sadar, mana laki-laki yang patut dijadikan pasangan, dan secara sadar pula kamu akan mengabdi padanya. Iya, mengabdi, ngga salah dengar kok. Tapi beda kan, mengabdi karena sadar kenapa laki-laki tersebut harus diabdi, dengan mengabdi karena buta oleh cinta, terpaksa, apalagi tadi, karena pikirannya sudah dibrainwash pokoknya mengabdi, tanpa peduli itu urusannya take and give atau give doang. Memiliki pemikiran sendiri juga membuat kita mampu membedakan, yang benar dan salah. Memutuskan, dengan berbagai pertimbangan. Diciptakan Tuhan dengan akal sendiri-sendiri kok, pasti lah ada maksudnya.
Kartini, dan kedua saudaranya (Kartinah, saudara kandung dan Rukmini, saudara tiri) sejak remaja sudah punya pemikiran maju untuk menciptakan wanita-wanita yang berpendidikan. Bukan lahir brul ngga punya keahlian apa-apa kecuali melayani keluarga. Beruntung Kartini lahir dari keluarga Bupati Jepara. Ia lebih dekat pada ibu tirinya yang berdarah biru dan mendapat pendidikan lebih bagus daripada dekat dengan ibu kandungnya yang anak seorang kyai. Karena anak bupati juga, ia berkesempatan mengenyam bangku sekolah, dan di situlah ia bertemu dengan Abendanon, anak Belanda yang kelak menjadi sahabat penanya.
Abendanon yang sudah kembali ke Belanda, saling berkirim surat dengan sahabatnya Kartini. Dari situlah muncul pemikiran-pemikiran progresif Kartini. Ya bayangin aja, jaman dimana semua serba terbatas bagi kaum wanita, dan Kartini punya semangat untuk mendobrak itu semua. Pasti deh dia dianggap ‘aneh-aneh’ bagi orang yang ngga ngerti dan ngga mau ngerti pemikirannya. Kata-kata mendobrak jangan diartikan sebagai ia akan lantang berteriak yang ia inginkan, atau ngetwit ngawur untuk cari perhatian. Dia tuliskan dan kirimkan dalam surat-suratnya itu, yang kelak.diketahui khalayak ramai. Ia mengajar, baik sebelum dan sesudah menikah, dengan dukungan suaminya.
Entah namanya beruntung atau ngga ya, saat Kartini menikah dengan Bupati Rembang, yang saat itu sudah punya selir. Ya, bahkan Kartini yang modern pun ngga bisa menolak saat ia dipoligami. Pantes kok saat berkunjung ke Museum Kartini di Rembang kamarnya misah. Kamar Kartini di depan, sedangkan suaminya di sebelahnya. Tapi, suaminya sangat mendukung kemauan Kartini. Foto ini menunjukkannya. Suaminya juga membuatkan sekolah tempat Kartini memperjuangkan cita-citanya. Bayangkan deh di jaman itu, suaminya yang pada posisi nilai tawar lebih tinggi, mau membiarkan istrinya punya kegiatan yang ngga ada hubungannya sama pelayanan terhadap keluarga. Selain mengajar, menulis, Kartini juga suka melukis dan membatik. Sayang umurnya ngga panjang. Setahun menikah dengan Bupati Rembang, ia melahirkan Soesalit, dan selang beberapa hari kemudian, ia meninggal. Anaknya kemudian bergabung dengan PETA. Konon keturunan keempat dan kelimanya ada di Bekasi dan Jakarta.
Mengenai museumnya sendiri, terletak di kompleks yang cukup besar. Cuma sayang bagian depannya tertutup aula yang baru dibangun. Sekelilingnya adalah bangunan dinas kebudayaan ya, yang pas kita datang (hari kerja) kosong melompong. Ngga ada tiket masuk, tapi ada satpol PP (lihat dari seragamnya) yang ngikutin kita dan sibuk nanya yang mana mobilnya. Ujung-ujungnya ya gitu deh 🙂 Guidenya sendiri bagus kok, kita yang datang sendirian ini diajak berkeliling sambil dijelasin isi rumah tersebut. Sabar juga jawabin pertanyaan Rey yang sibuk nanya dan mengaitkan dengan apa yang pernah dia baca. Nah untuk yang profesional gini rela deh ngasi uang jasanya 🙂
***
IndriHapsari