Kali ini judul yang panjang ini diinspirasi pengalaman saya bersepeda. Olahraga yang dinilai ngga serius oleh dokter penyakit dalam saya ini,
(‘Mbak olahraganya apa?’
‘Sepedaan, Dok.’
‘Statis?’
‘Ngga, Dok, yang jalan.’
‘Kok ngga yang statis?’
‘Bosen, Dok.’
‘Kalau sepedaan biasa kan cuma main-main. Keringetan ngga?’
*mikir bentar* ‘Ngga, Dok, kan kena angin.’)
padahal buat saya yang ngga pernah olahraga ini sudah piro-piro, berhasil membuat saya jadi sok filosofis.
Pertama yang teringat sih quotenya Einstein, yang bilang hidup ini seperti naik sepeda, supaya tetap seimbang, harus terus mengayuh. Maksudnya supaya ngga putus asa kali ye, pas kebeneran posisi lagi di bawah, jangan berhenti. Kalau ngga, kita ngga akan pernah bisa ke atas.
Atas bawah ini kemudian jadi renungan baru lagi. Saat mengendarai mobil, saya jarang berusaha menghindari lubang. Paling ya menyesalnya habis melewati lubang itu yang menimbulkan guncangan. Saya masih duduk nyaman di dalam mobil, ngga terkena dampak lebih parah apalagi sampe kecelakaan gara-gara lubang. Makanya nyetir kadang ngga pake mikir, karena tinggal mengarahkan belok kanan dan kiri lewat rute yang selalu sama, saya toh tetap bisa sampe di tempat.
Tapi naik sepeda lain. Saat awal-awal cuek ngga ngerem pas lewat polisi tidur, atau lubang juga dilibas, ada ketidakseimbangan yang terjadi dan berpotensi jatuh. Trus kalau limbung ke kanan dan disaut mobil atau sepeda motor, aku piye? Karena itu dampak lubang bagi yang di bawah lebih besar daripada yang di atas. Terakhirnya malah bannya kempes, menyebabkan saya mesti nuntun dari acara jalan-jalan yang gagal ini menuju rumah (ni dokter Sp.PD saya pasti gembira akhirnya saya olahraga lebih ‘serius’), trus sepeda masukin ke bagasi, dibawa ke toko sepeda untuk direparasi, dan wala! Ratusan ribu untuk ganti ban dalam dan ban luar. Ongkos termahal yang harus keluar karena saya sepedaan, lebih mahal dari mbungkus bubur atau soto yang saya temui di jalan 😀
Karena sudah tau rasanya jadi anak tiri di jalanan di Surabaya, sekarang kalau nyetir mobil saya jadi berusaha lebih toleransi. Saya jadi tahu bahwa sepeda itu ngga selamanya bisa mepet pet dengan bahu jalan karena jalanan di pinggir itu lebih berlubang dan bahaya buat pengendara sepeda. Jadi sudah lah mereka ngga mau minggir karena ada alasannya. Kalau saya mau belok dan di depan ada pengendara sepeda, saya tungguin sampe dia jelas mau belok atau lurus. Karena ternyata cukup sulit melihat ada kendaraan apa ngga di belakangnya yang mau belok, terkait ketiadaan lampu sign dan spion. Berulang kali saya mensyukuri, hidup yang paling enak itu saat bisa memilih mau sepedaan atau ngga. Kalau itu jadi keharusan, mungkin naik sepeda malah jadi keluhan. Atau sebaliknya, saat dikaruniai naik sedan, tapi ngga bisa sepedaan, mungkin ada yang salah dengan tubuh kita atau keadaan menjadi terlalu berbahaya bagi pengemudi sepeda.

Tapi mesti hati-hati lo, ngga selamanya karena sedang berada di bawah, trus semuanya jadi boleh atas nama ketidakadilan. Ya jelas aja seperti Einstein bilang, kalau semua ada di atas, enak semua, trus siapa yang bisa menjalankan roda kehidupan? Akan halnya terpaksa harus naik sepeda, jangan serta merta ingin selalu dimengerti atas penyimpangan yang dilakukan. Misal nih menyebrang di perempatan saat lampu merah masih menyala. Atau memotong jalan seenaknya bikin kaget aja. Atau melawan arus karena jalan yang sebenarnya harua ditempuh lebih jauh. Paling parah sih, saat menyerempet mobil dan kabur begitu saja. Oh, soal itu sudah dua kali mobil saya ditabrak dari belakang, yang pertama malah penabraknya yang marah-marah, yang kedua kabur begitu saja.
Kadang kita terlalu mengasihani diri sendiri dengan berprinsip kita layak menghujat yang di atas karena kita lebih sengsara hidupnya. Sebenarnya letak bahagia itu ada dimana sih? Diri sendiri, atau orang lain? Sehingga perlu membenci orang yang hidupnya kelihatan lebih bahagia dari kita, atau lebih sukses mungkin, dengan kekurangan. Ingin dimaklumi kalau ada tuduhan berdasarkan kecurigaan yang berlebihan, kata-kata kasar ngga tau aturan, hanya demi penolakan melihat orang lain lebih bahagia. Bukankah itu sama dengan pemakai sepeda yang merasa berhak melawan arus karena ketidaknyamanannya?
Tapi tahu ngga, para pengendara yang lain toleran loh sama sepeda yang suka tantangan ini. Mereka lebih memilih menghindari, memberi jalan, daripada ngamuk-ngamuk memperingatkan. Jadi, yang di atas sudah pengertian, kalau masih dikasih hati tapi terus menghujat ya namanya keterlaluan. Ngga tahu malu, inginnya sengsara terus biar jadi perhatian.
Lagi-lagi bersepeda mengingatkan saya, jalani dulu sebelum menduga ini itu. Karena menjadi pengemudi mobil bukan berarti ia jadi layak dighibah, sedangkan jadi pengemudi sepeda mesti sabar dan pasrah, berusaha berjalan lurus meski hidup sedang tak mulus.
***
IndriHapsari
good liink
Makasih yah pak 😊
Kalau di Banjarmasin semua pada sak karepe dewe kalau berkendara. Mau yang pake sepeda, motor, mobil semuanya seolah punya nyawa cadangan. Nggak ada takut2nya bakal nyruduk atau minimal nyrempet punya orang. Makanya kalau lagi baik motor atau nyetir mobil(gak duwe selera soale) saya pakai prinsip ‘sing waras ngalah pokoke slamet dan ga nubruk atau ditubruk orang’. Meski yaaah…..nggak gampang. Tapi mosok nggak mau ke mana2? He he….
Inspiratif nih….
Sama ky di Medan kali ya mbak 🙂 Di Sby yg lumayan tertib itu, meski kita ati2 tetep aja ditabrak. Sluman slumun slamet klo keluar rumah 🙂
Apalagi kalau ada genangan air, perlu ngerem mobil kalau di sampingnya ada yg naik sepeda… btw, itu yg ditaruh di bagasi apa jenis sepeda lipat to, mbak?
Iya pak Yudhi, wih kebayang mangkelnya klo kena cipratan pdhl pakaian sdh rapi. Iya Pak itu sepeda lipat,bikinan china 🙂