Masalah prostitusi mestinya bukan barang baru di negara kita, ribut dipertentangkan, namun hanya sedikit yang mau melaksanakan niatnya, menerima atau menolak. Kebanyakan hanya berkisar wacana, yang kemudian memunculkan polemik berkepanjangan.
Biasanya alasan yang dikemukakan karena bisnis protitusi ini adalah bisnis yang paling primitif di muka bumi, sehingga mau dimusnahkan seperti apapun tidak akan membuahkan hasil. Ibaratnya sudah seperti lingkaran setan, mau kemana-mana ya ketemunya sama setan. Namun, apa benar begitu? Sekarang mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam bisnis prostitusi, agar dapat mengurai benang kusut ini satu persatu.
Mari bicara tentang stakeholder, yaitu stakeholder internal dan eksternal. Stakeholder internal adalah mereka yang terlibat langsung dengan bisnis ini. Ada wanita yang diperjualbelikan jasanya, ada mucikari yang memasarkan anak didiknya, ada pemasok yang mencari dari berbagai daerah wanita yang bisa mereka jebak atau bujuk untuk menjalankan roda bisnis, dan pendukung lain seperti penjaga wisma, pemilik hotel short time, pemilik unit apartemen yang disewakan, atau pengelola tempat karaoke dan panti pijat. Stakeholder internal yang paling utama adalah pelanggan, penyebab kenapa bisnis ini begitu marak. Siklus hidup produk yang biasa menunjukkan, ada tahapan perkenalan, matang dan jenuh yang menunjukkan penurunan. Namun untuk ‘produk’ yang ini, siklus hidupnya secara global tidak mengalami penurunan, bahkan di sejumlah negara menunjukkan kenaikan, didukung dengan penggunaan teknologi dalam menciptakan permintaan.
Sedangkan stakeholder eksternal, adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung. Misalnya pemerintah yang menetapkan lokalisasi atau sertifikasi, beserta aturan-aturan yang mendukungnya. Penegak hukum dan dinas sosial yang berperan dalam memberikan efek jera dan menanamkan pemahaman kerugian dari pelaku bisnis prostitusi, serta mereka yang berperan dalam meramaikan bisnis dunia gemerlap ini. Mereka yang memproduksi video-video porno, situs yang memperkenalkan kenikmatan seks ke siapa saja, buku-buku erotis, iklan yang muncul di media sosial berikut spamnya, termasuk mereka yang bertugas mempercantik para pelaku bisnis tersebut.
Benang-benang kusut itu saling bercampur, carut marut, sehingga mungkin satu-satunya jalan menguraikannya adalah dengan memotong semua. Karena dengan hanya memotong saja, gumpalan benang ruwet itu akan selalu ada, dan benarlah apa yang selama ini diyakini, bahwa bisnis prostitusi tidak akan musnah dari muka bumi.
Namun kita masih mempunyai harapan para pemimpin daerah yang bersikap tegas untuk menolak adanya prostitusi seperti Tri Rismamaharini, Walikota Surabaya. Meskipun disangsikan karena prostitusi liar masih saja terjadi di beberapa bagian di Surabaya, tapi setidaknya ada pemimpin yang berani meletakkan landasan yang benar dalam keputusannya. Kita juga memiliki harapan dari Swedia, karena negara tersebut berhasil menurunkan pelaku bisnis prostitusi dan perdagangan manusia, meski, lagi-lagi, ada berita bantahan bahwa yang tobat tidak sebanyak itu.
Kenapa disebut lingkaran setan, karena dalam ajaran agama apapun berzinah merupakan perbuatan dosa. Mau dengan dalih apapun, misalnya tidak ada yang dirugikan, pelaku adalah profesional, bukan anak-anak dan tidak terpaksa, sebaiknya memang perbuatan dosa itu dihentikan. Bagaimana agar bisa lepas dari lingkaran setan ini?
Pemerintah sebaiknya dengan tegas menyatakan dan melakukan, tidak mendukung segala kegiatan prostitusi. Jika kesulitan mengendalikan, bukan berarti jadi harus menyediakan tempat ataupun mengeluarkan ijin. Lokalisasi hanyalah satu tahapan untuk mencegah mereka meluber kemana-mana dan bisa dikendalikan, namun tujuan akhirnya adalah untuk menutup tempat tersebut, dengan kondisi para pekerjanya sudah alih tugas. Jika sayang terhadap berkurangnya pendapatan daerah dari bisnis ini, ingatlah bahwa semua yang dimulai dengan buruk akan beakhir dengan buruk pula. Jadi sebaiknya dialihkan ke bisnis lain yang halal. Mungkin pada awalnya sulit untuk mendapatkan hasil yang sama seperti di bisnis prostitusi yang istilahnya adalah easy money, namun hasil yang didapatkan dengan keringat akan lebih bermanfaat bagi banyak orang. Pemerintah bertanggung jawab terhadap area yang mereka kelola, jangan sampai semua orang melihat bahwa pemerintah mendukung kegiatan maksiat.
Dengan ketegasan dari pemerintah, maka semua yang terlibat dalam bisnis ini, terutama stakeholder internal bisa dijerat dengan pasal hukum. Selama ini pelaku tersebut hanya diberi pengarahan dari dinas sosial, tidak ada payung hukumnya. Tentu juga diperlukan dukungan dari polisi, jaksa dan hakim, jangan sampai dipegang oleh oknum yang haus harta dan kekuasaan.
Pelanggan bisnis ini perlu diedukasi, entah secara moral, agama atau kesehatan, bahwa menggunakan jasa mereka sungguh beresiko. Semestinya mudah karena penduduk Indonesia wajib beragama, dan mereka pasti tahu larangan mengenai perzinahan. Namun mengapa tetap dilakukan? Jika semua orang mengikuti ajaran agamanya, tentu akan damai dunia, termasuk tidak meributkan masalah ini. Karena kenyataannya tidak begitu, pemahaman dapat digeser dengan memberikan sosialisasi mengenai dampaknya pada kesehatan, mengingatkan kembali soal norma kehidupan dan memberikan sanksi sosial.
Mengenai sanksi ini menjadi hal yang menarik karena biasanya yang diberi sanksi adalah pelakunya, dalam hal ini para wanita yang menganggap menjadi PSK adalah profesi. Mereka ditayangkan wajahnya di koran, disebut namanya, sekaligus diberi cap yang melekat seumur hidup. Namun bagaimana dengan pelanggan? Selain diuntungkan dengan tidak ikut diberi wejangan saat digrebek, mereka juga tidak pernah ditayangkan wajahnya, bahkan inisialpun tidak boleh diumumkan. Padahal dengan melakukan hal tersebut, memunculkan efek jera yang menyebabkan pelanggan enggan datang lagi atau menyebabkan pelanggan yang lain takut untuk melakukannya.
Tidak ada pasokan jika tidak ada permintaan. Maka jika ingin menghilangkan bisnis ini, kedua sisi harus diganggu. Pasokan diganggu dengan cara mengedukasi para wanita agar menjauhi pekerjaan haram tersebut, juga menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Pada dasarnya mereka menginginkan pekerjaan yang normal, yang dapat disebutkan dengan bangga ke anak cucunya. Dengan edukasi para wanita menjadi tidak mudah terbujuk, dan mereka bisa dengan yakin memilih jalan yang lain.
Tidak menutup kemungkinan bahwa ada juga yang bandel, melakukannya karena ingin kerja yang gampang, atau tersangkut gaya hidup wah yang tidak sanggup ia biayai sendiri, jadilah jualan selangkangan. Kalau yang seperti ini ranah hukum dan sosial perlu dilakukan, misalnya menjerat para pelaku bisnis ini ke pengadilan, dan menayangkan wajah serta namanya ketika sudah jelas mereka bersalah.
Mengenai pelanggan, mereka akan terus meminta karena uang selalu bisa disediakan. Jika cara edukasi tidak bisa, maka berikutnya adalah dengan memberikan efek jera. Dengan menayangkan foto, menyebut nama, serta menyidangnya bersama dengan wanita yang dibayarnya di pengadilan. Yang melakukan akan berpikir dua kali jika ingin mengulang, yang belum melakukan akan mengubur dalam-dalam keinginannya untuk ‘jajan’.
Perzinahan itu seperti kecanduan, kalau tidak dipenuhi maka efeknya ke rasa gelisah dan tidak fokus karena yang biasanya rutin jadi terhalang. Maka penanganannya seharusnya seperti pusat rehabilitasi narkoba. Para pelanggan dilatih untuk mengendalikan diri agar bisa melewati masa-masa sulit tersebut. Jika sudah memiliki keluarga, maka pengertian dan dukungan keluarga harus selalu diberikan untuk membawa kembali pelanggan ke jalan yang lurus.
Bisnis prostitusi sebenarnya memiliki pemecahan yang sederhana, rasa ketakutanlah yang akan memperumit semuanya. Yang diperlukan adalah keseriusan untuk mengenyahkannya dari bumi tercinta.
*
IndriHapsari
dukung pemusnahan tempat2 lokalisasi dan sejenisnya….harus ada yang tegas dalam hal ini dan raknyat harus mendukung…
Iya pak, coba tegas dr awal, ngga bakal kebingungan menguraikan benang kusut
pengurusnya plin plan buk…pa lagi dah diganti….sana sini…hah
Inginnya sih bs konsisten dan tegas ya pak
Sebenarnya aku sempat berpikir apa kalau cara2 di negara Skandinavia (lupa tepatnya yang mana) diterapkan bisa membantu melenyapkan prostitusi? Aku pernah baca kalau di sana perempuan penjual jasa sex legal tapi membelinya yang ilegal dan approach ini berhasil menurunkan angka prostitusinya secara drastis. Maaf referencenya sudah tidak bisa aku temukan jadi tidak bs aku link di sini. Cuman logika sederhana aja sih, yang dilarang2 biasanya yang makin subur hehehe. Pertama juga menurutku adalah prioritas pendidikan sex, kita tidak bisa menutup mata bahwa angka penderita HIV AIDS di Indonesia adalah salah satu yang peningkatannya sangat cepat.
Menghukum pelanggan memang salah satu cara memutus rantai permintaan mbak. Pendidikan seks memang penting baik utk pelanggan dan pelaku supaya terhindar dr penyakit, namun perlu jg edukasi ke masyarakat bahwa profesi tsb bkn cuma enaknya aja yg terlihat tp beresiko tinggi. Dimana2 yg namanya dosa emang enak mbak, dan bayangkan klo semua dosa itu ngga dilarang, mau jd apa dunia 🙂
Setuju mbak karena tingkat pendidikan juga lebih kurang membentuk pola pikir. Jadi wlopun ada sosialisasi frame berpikir belum tentu mendukung jadi interpretasinya bisa keluar jalur. Hmm pelik tapi menurutku ini salah satu pressing issue yang harus dipikirkan baik2 ya karena pengaruh kultur lain yg juga cepat bgt diserap.
Yg cepat diserap itu pasti yg enak2 mbak 😀
Hahaha
Mbak Indri, kadang-kadang seseorang menjadi butuh sesuatu karena barang tersebut ada, jadi.spertinya peminta dan penyedia yang membuat hal tersebut makin menjadi
Pdhl klo ngga ada ya ngaplo aja ya ngga aneh2 😀
😀