Salah satu sikap yang harus dimiliki seorang pengajar adalah ketegasan. Kalau A ya A, kalau B ya B. Begitu ada pengecualian, meskipun telah ditetapkan syarat-syarat agar peristiwa serupa tak terulang, atau menjadi alasan kuat kenapa diperbolehkan, atau untuk cari selamat, tetap saja di lain waktu peristiwa yang sama akan berulang, dan kita diingatkan lagi atas ketidaktegasan yang pernah kita lakukan. Kok dulu boleh, sekarang ngga?
Bersikap permisif memang diperbolehkan, mentoleransi memang perlu karena banyak sekali kondisi yang di luar perkiraan atau pemikiran kita sebelumnya. Namun hati-hati, semua excuse itu akan berdampak panjang. Dampak pendeknya memang selamat, tapi jangka panjangnya bakal ada lagi yang mengungkit-ungkit, jika tidak segera ditegaskan.
Maksudnya begini, saat kita menetapkan suatu aturan A, maka ketika kita memodifikasinya menjadi A+, seharusnya disertai pertimbangan, apakah bisa dilakukan general dan diteruskan aturan A+ itu. Kalau ya, segeralah meresmikannya. Jika tidak, maka bersiaplah mendapatkan kondisi yang memerlukan pengecualian lagi, hingga bukan hanya A+ saja, tapi A++.
Sebagai pribadi maupun sebagai profesional, saya pernah melakukan ketidaktegasan. Alasan-alasan seperti tidak mau repot, sungkan, biar sama-sama senang sering menjadi penyebab ketidaktegasan. Soal hasil, jelek semua. Ada yang jadi tersinggung, ada yang memanfaatkan (dikasih ati ngerogoh rempela), ada juga yang membuat saya harus menyusun dalih pembenaran, yang sebenarnya ngga akan muncul kalau dari awal saya tegas.
Skenario-skenario yang disusun, terus terang melelahkan. Biasanya mengalir saja, sekarang kok jadi penuh strategi. Buat yang senang bermain mungkin menyenangkan, tapi buat yang polos-polos aja, hal ini sungguh menyiksa. Harusnya bisa move on ke hal lain, malah melulu di hal itu saja.
Karena itu kalau ditanya, semisal saya dilahirkan kembali mau jadi apa, saya akan jawab : tetap dilahirkan sebagai Indri, minus ketidaktegasan yang pernah saya lakukan.
***
IndriHapsari
Foto : MCI
Iya ni kalau ngak tegas sering di permainkan. Nuggu Opininya bu tentang eksekusi mati 😀
Soal hukuman mati utk bandar narkoba, ini hasil analisa sy :
1. Mrk tahu hukumannya apa tp tetap melakukannya
2. Mrk tetap melakukannya meski tahu hal itu merusak org lain, bahkan membunuh mrk
3. Mrk tidak peduli ada banyak keluarga, teman, saudara yg tersakiti krn org terdekat mrk menjadi pecandu
4. Mrk merusak masa depan
Jd, bisa ditebak kan sy mendukung yg mana 🙂
Huaa setuju bu.. Di buat goyang sama berita di tv. Jadi muncul rasa iba padahal sangat tau dampak buruk dri narkoba.
Sy ngga nonton tv indo, jd aman 🙂 Ini balik lg ke soal ketegasan, jgn sampe krn permisif malah mengacaukan semua.
ketegasan memang perlu diterapkan ya mbak, sama seperti akismet yang tegas mengamankan komen spam :-p
Hahaha…iya..terbantu banget! 🙂
iya mbak, barusan saya juga dapat ketegasan dari akismet cz ada komen spam masuk di dashboard saya 🙂
Banyaaak…secara saya jarang masuk dashboard…ngapusinnya..wew…
Setuju banget mbak dengan ulasannya akan ketegasan dan hukuman mati. Kafang ketegasan jadi goyah karen takut akan sentimen kultural juga ya mbak apalagi untuk orang Asia seperti kita ini. Padahal biasanya diricuhin orang2 cuman sebentar begitu reda dan kita tetap konsisten mereka akhirnya diam juga dan mungkin mulai belajar memahami. Hukuman mati atau penjara seumur hidup mbak?
Kalau penjara seumur hidup ada kemungkinan kabur, grasi, atau malah pindah tempat aja 🙂
hahaha bener juga mbak. Rahasia umum hahaha
Waduh..kok sy tulis ya..hehehe 😀
Masalah jadi besar dan rumit biasanya karena dari awal nggak tegas memutuskan…plus dengan segala resikonya
Ya Pak, sebaiknya banyak belajar dr kesalahan masa lalu 🙂
bener banget, masa lalu adalah guru terbaik (katanya 🙂 )
Hehehe iya KangJum 🙂