Berhubung Museum Fatahilah sedang ditutup untuk umum, kami mengalihkan target tujuan ke Museum Kontemporer Jakarta, atau kalau di Google Map saya Museum Keramik dan Lukisan. Sejak awal kami sudah kesulitan memarkir kendaraan saking ngga jelasnya keadaan di sana, sampai harus parkir di gedung pajak. Sepanjang trotoar banyak jajanan menarik khas Jakarta, yang sayangnya kurang tertata. Rebutan lahan sama parkir sepeda motor, kena hujan pula sehingga barang dagangan harus ditutupi ‘biar mateng!’ kata seorang pedagang pasrah.
Biaya masuk ke gedung bekas kantor pos ini hanya 5 ribu rupiah untuk dewasa, dan 2 ribu rupiah untuk anak-anak. Ongkos yang sangat murah dimaksudkan untuk menjaring banyak pengunjung. Akibatnya semua kalangan yang mungkin menganggap museum tersebut sebagai tempat rekreasi biasa, dengan seenaknya menyentuh karya seni, berselfie ria meski ngga tau itu pajangan apa, bahkan memakan nasi bungkusnya di kompleks museum.
Sebenarnya pengelola sudah tepat meletakkan karya seni tersebut per kelompok, memajangnya dengan jelas, memberikan pencahayaan yang cukup, dan memberi keterangan di masing-masing karya. Namun hal itu ngga cukup menarik minat pengunjung untuk tahu itu benda apa, apalagi mencoba menelusuri latar belakangnya. Ada lukisan yang berlatar belakang sejarah dan budaya, keramik hasil percampuran berbagai pengaruh kerajaan, gaya lukisan dari masa ke masa.
Kekayaan karya dengan kemenarikan karya merupakan hal yang berbeda. Maka sayang sekali saat ini karya-karya seni yang indah ini bagai mutiara yang tersembunyi.
***
IndriHapsari
Sedih bacanya Mba. Kebayang sih gimana di sananya apalagi terletak di daerah Kota Tua.. Hiks.
Sayang banget Pak, pdhl gedungnya sendiri sdh unik, apalagi karyanya.