
Rencana Bu Risma sebagai Walikota Surabaya untuk menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Dolly, mendapat tentangan dari wakil walikota dan beberapa anggota DPRD, seperti diberitakan oleh majalah Tempo.
Sudah sejak lama Bu Risma ingin menutup lokalisasi tersebut. Alasannya simple, karena dosa. Di awal kepemimpinannya, Bu Risma didatangi sejumlah kyai yang mengajukan permintaan tersebut. Dalam agama apapun, protitusi yang mendukung perzinahan, juga pastilah dilarang dan merupakan salah satu dari sejumlah dosa manusia.
Dan memang penutupan lokalisasi yang sudah dari dulu ada ini, akan meamcing banyak polemik. Entah ya, urusan yang sudah pasti sederhana, kalau kita mau buat mereka dalam area hitam putih, jadi abu-abu lagi begtu berkaitan dengan manusia. Ada yang merasa kasihan dengan segala elemen masyarakat yang terlibat di dalamnya. Ya penjaja seksnya, pemilik wisma, mucikari, mami, pelanggan, tukang parkir, yang jual make up, banyak deh!
Suatu hal yang mestinya tidak perlu, karena semua yang terlibat tersebut diharapkan alih profesi, tidak perlu berlama-lama berkubang dalam dosa. Tidak ada istilah kurang ketrampilan, kurang modal, kurang perhatian pemerintah. Karena Bu Risma sendiri sudah mempersiapkannya selama 4 tahun, agar saat penutupan dilakukan tanggal 19 Juni 2014 tersebut, elemen-elemen yang terlibat tersebut dapat alih profesi. Pelatihan dan suntikan modal telah diberikan. Yang kurang adalah motivasi untuk melakukannya, mau atau tidaknya.
Ya bener sih habis ini ngga bisa modal dandan dan paha doang, lalu dapat uang. Ngga bisa duduk-duduk dan dapat setoran dari anak buah. Kalau dulu bisa bergaya naik motor matic, sekarang mungkin maticnya harus dijual, karena untuk nambah modal.
Kalau saja mereka sadari, sekian puluh juta rakyat Indonesia ya melakukan hal yang sama. Bekerja keras banting tulang, demi sebuah pekerjaan yang halal. Memang sih penampilan kurang, kotor, dan sering diremehkan karena mengerjakan hal-hal yang bukan pekerjaan idaman. Hidup susah, sementara kemewahan kerap melintas di depan mata. Namun mereka bisa bangga membawa setiap recehan hasil kerja kerasnya, nyaman tidurnya, dan terbebas dari rasa bersalah, karena membiayai keluarga dari duit halal yang mereka dapatkan.
Jadi, semua orang bisa melakukan banyak pekerjaan halal, tinggal mau atau ngga.
Dolly ada karena prostitusi sudah ada sejak jaman primitif. Seperti hukum demand dan supply, kalau ada permintaan, maka akan diusahakan pasokannya. Mulai pelacur kelas tinggi yang sempat heboh di jaman bangsawan Prancis berkuasa, sampai tingkat tukang becak, semua punya segmen pasar yang berbeda. Membuktikan bahwa profesi ini diminati, untuk memenuhi nafsu manusia.
Buat mereka yang merasa kasihan dengan para pelanggan Dolly, karena alasan nanti mau cari dimana, bukankah lebih bahaya jika para PSK tersebut dibiarkan keleleran, atau malah menyusup masuk ke usaha-usaha lain dan kota lain, serta kemustahilan melenyapkan dosa primitif tersebut, saya rasa dapat diatasi.
Yang pasti sih tidak ada yang mustahil. Dan meski susah banget, perlu waktu lama, dan usaha yang keras, segala pesimisme tersebut dapat pelan-pelan terkikis kalau sudah ada hasilnya. Karena itu setiap usaha baik yang dilakukan dengan baik pula, hendaknya mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Bagaimanapun, dukungan berbagai pihak pasti membuat usaha akan lebih lancar.
Berikutnya bagi para pelanggan, justru ini kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Sudah cukup deh, menyakiti hati pasangan, mempunyai rahasia terpendam, berpotensi menderita penyakit kelamin, dan tentu saja melukai hati Tuhan, karena tindakannya yang tidak dapat mengendalikan nafsu. Energi dan nafsunya silakan dilampiaskan dengan cara yang lebih positif. Bekerja lebih giat, melakukan kegiatan sosial (tanpa menjadi pedofil) dan nguras selokan. Maksudnya bayangin deh berapa liter cairan yang selama ini sudah ditumpahkan dengan tidak semestinya, tentu sudah bau dan kotor seperti selokan tadi. Dengan membersihkan selokan, sekalian mereka mikir tindakan-tindakan ngga pantes apa yang selama ini telah mengotori hidup mereka (oh, ngga nyangka nguras selokan bisa begitu filosofis ya :P).
Kalau supply sudah dihentikan, demand sudah dikurangi, niscaya kota Surabaya tidak perlu Dolly lagi.
Sekarang, apa yang terjadi kalau dibiarkan? Karena ada usulan biarin aja yang sekarang, tapi jangan ada stok (duile, orang dianggap sebagai barang) baru. Sehingga makin lama pelanggan makin kecewa, dan Dolly berangsur-angsur sepi.
Masalahnya, siapa yang bisa menjamin ‘tidak ada stok baru’ tersebut. Pastilah mucikari di Dolly berprinsip customer oriented, sehingga semua permintaan pelanggan akan dituruti. Harga ‘stok baru’ jadi lebih tinggi karena nyodorinnya sembunyi-sembunyi. Dan kata siapa pelanggan bakal bosan? Malah ada yang sudah langganan! Belum lagi ngebayangin petugas yang mesti menjamin peraturan ditegakkan, malah berpotensi jadi ajang penyuapan.
Sama seperti pedagang liar yang dibiarkan berjualan di trotoar, jika tidak sejak awal ditindak tegas, maka hal ini akan memicu kerumunan pedagang liar. Jangan harapkan kesadaran untuk segera pindah begitu dapat teguran, yang ada mereka menunggu datangnya Satpol PP untuk membongkar warungnya. Yah, bertahan sampai darah penghabisan, itu yang utama.
Kalau kita mengharapkan Dolly akan pelan-pelan tutup, mau nunggu sampai berapa lagi? Lokalisasi itu sudah berdiri sejak puluhan tahun, dan dibiarkan oleh berbagai pimpinan pemerintah, yang telah berganti-ganti. Dolly memang menunggu diobrak, karena pembinaan dan penyuluhan sudah kerap masuk ke sana, tapi selalu tidak sampai ke penutupan. Berdirinya prostitusi akan menarik pelanggan-pelanggan baru, pelaku-pelaku baru, human trafficking, bahkan generasi muda juga akan terkena imbasnya. Mereka merasa BOLEH untuk melakukannya, karena toh sudah disediakan tempatnya, dan orang-orang tua memberikan contohnya.
Seharusnya ketika kita merasa kasihan dengan nasib penghuninya, tindakan kasihan kita menjerumuskan. Kasihan waktu membongkar warung pedagang liar, membuat si pedagang melakukan kesalahan karena menodai kepentingan umum. Membuat pelanggannya ikut salah karena beli di tempat yang illegal. Menghalang-halangi pejalan kaki, yang memang tempatnya di situ untuk melintasi dengan nyaman.
Rasa kasihan seharusnya diwujudkan dengan tindakan nyata. Misal menampung mereka di rumah kita *ups! Nggaaa, maksudnya mari kita lebih menghargai mereka yang tobat, dan beralih profesi. Bukan malah usil nanyain, ‘sekarang kok hidup sengsara ya Jeng?’ Atau ngomporin lainnya untuk ngga usah beli sayur di dia, karena mantan PSK. Atau bersikap penuh curiga, begitu mereka terjun ke masyarakat.
Apa yang para penghuninya hadapi akan berat. Biasa gampang dapat uang, sekarang tidak. Diremehkan, dan mungkin akan ada pelecehan, akan mereka alami. Belum jika sebelumnya sudah ada bibit penyakit karena pelanggannya ngga bersih dan mereka juga ngga pakai pengaman, berasanya baru sekarang dimana sudah ngga bisa lagi dapat banyak uang untuk berobat.
Semua itu adalah gambaran buruk. Dan meski kita bisa bilang nasib manusia siapa yang tahu, sudah jadi kewajiban bagi kita untuk mendukung semua usaha perbaikan mereka, bukan makin menjerumuskan yang berupa pembiaran. Pembiaran ini ada di setiap negara, sebagai wujud peraturan agar prostitusi tidak dilakukan sembarangan, namun hanya di tempat itu saja.
Singapura saja terkenal dengan Geylangnya sebagai red district, kenapa Surabaya ngga?
Wah daripada niru yang ngga-ngga, kenapa ngga ditiru yang iya-iya saja? Dengan meniru yang baik-baik, sudah cukup kok membuat kita sibuk untuk menyamai prestasi Singapura, dan ngga sempat lagi memikirkan buka-ngga-buka-ngga untuk lokalisasi.
When in doubt, don’t!
***
IndriHapsari