
Seperti biasa, meeting berjalan lancar. Semua pegawai senior, lebih tepatnya tiga orang pegawai senior, sudah berkumpul. Mereka menggunakan seragam biru mudanya, celana biru tua, dan meski penggunaan jenis sepatu dibebaskan oleh Papa, semua kompak memakai sepatu kets. ‘Biar cepat mencapai tujuan Bu,’ kata mereka waktu kutanya alasannya. Aku memandang sepatu hak tinggiku. Kelihatannya saltu nih, salah pakai sepatu.
Mereka berukuran tubuh sedang, dan terkesan lincah. Dengan segera datang jika kupanggil, dan sempat kulihat di lantai produksi mereka aktif mengawasi dan tak segan turun tangan jika ada masalah. Berhadapan dengan operator mesin yang rata-rata masih baru, membuat mereka harus mengajari para operator satu persatu. Pak Amin yang paling sabar, begitu pernah kudengar. Sementara Pak Yudi lebih banyak bekerja dalam diam, sedangkan Pak Tejo paling terus terang. Tak segan ia memaki anak buahnya bila salah menjalankan perintahnya.
Hal itu terbawa hingga ke ruang rapat. Aku rasa Pak Tejo yang paling sulit kukendalikan. Aku ingat pertemuan pertamaku dengan Pak Tejo, sepulangku dari Amerika. Ia agak kecewa mendengar putusan Papa menyerahkan perusahaan padaku, anak bau kencur yang sama sekali tak tahu soal produksi. Karena itulah dalam putusan-putusanku, ia banyak mempertanyakan alasannya. Agak gelagapan aku menjawabnya, namun untunglah bisa. Atau mungkin ia agak menahan diri untuk tidak melawanku.
Hari ini kami berencana melanjutkan produksi kemarin yang belum selesai, kemudian mesin nomor 3, 7 dan 8 akan dipasang cetakan baru sesuai pesanan yang sudah masuk. Produk plastik kemasan hari ini harus selesai dipotong, agar besok bisa dikirimkan pada pelanggan.
Selesai mengetahui rencana produksi hari ini, mereka bergegas ke lantai produksi, mempersiapkan semua. Aku mendatangi Mirna, staff keuanganku, atau boleh kusebut, wakilku. Karena ia banyak membantuku belajar, dan ia pula yang mengkoordinasi staf administrasi dan pengadaan yang kalah senior dengannya.
Sedang asyik memperhatikan laporan keungan yang disusun Myrna, Pak Tejo tergopoh-gopoh datang ke ruangan administrasi.
‘Bu! Ada kecelakaan! Jari Setyo terpotong!’
Jantungku berdetak lebih keras.
(Bersambung)
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com