Jam delapan kurang lima, aku sudah bersiap di pantry.
Memeriksa filter dan tanki mesin kopi, sudahkah bersih.
Selanjutnya menaruh bubuk kopi ke dalamnya, empat sendok.
Menyiramnya dengan air panas, dan menyalakannya.
Mempersiapkan dua cangkir kesukaanku.
Mengamati tetes demi tetes yang mulai mengisi bejana.
*
Ia biasa datang jam delapan lebih lima belas.
Memasuki ruang pantry dengan tergesa.
Aku tahu ia sibuk, tapi selalu sempatkan diri untuk datang.
Entah untuk kopi yang kusiapkan, atau mungkin untuk aku (?)
Tak penting lagi, ketika ia muncul pagi ini.
*
Pangeran jaman sekarang, tak begitu tampan.
Kulitnya kehitaman, rambut panjang terikat di belakang.
Anak rambut terjuntai ke depan.
Tak menunggangi kuda putih ketika datang.
Hanya sebuah sepeda motor usang.
Tak membunuh naga apalagi membawa pedang.
Namun tetap berjiwa ksatria.
*
‘Mau kopi?’ kataku seperti biasa.
Ia mengangguk, duduk di hadapan.
Lingkaran di bawah matanya makin menghitam.
Pipinya makin tirus kelelahan.
Namun matanya tetap memancarkan binar.
Bibir menghitam akibat nikotin jahanam.
Tetap manis kala ia memberi senyuman.
*
‘Pakai gula?’ tanyaku lagi.
Meski aku sudah tahu jawabannya.
Kopi hitam pekat tanpa gula.
Membuatku terheran-heran saat pertama mengetahuinya.
Ada juga mahluk yang menganggap serius secangkir kopi.
Harus hitam, harus pekat, harus tawar.
*
Sementara aku menganggap kopi sebagai fashion.
Gaya hidup agar tak dianggap kampungan.
Maka susu, krim dan gula pasti ikut serta.
Memenuhi cangkirku hingga berwarna coklat muda.
Itu saja, sudah cukup buatku terjaga, hingga malam tiba.
*
Kopiku, untuk menemani sang pangeran.
Yang biasa begadang menulis liputan.
Hasil pencarian beritanya seharian.
Saat ia menyapa, ku ingin siap di depan layar.
Mengetikkan apa saja, yang ia ingin bicarakan.
Kurang tidur, merasa mengantuk seharian.
Tak apa untuk menemaninya, meski akhirnya ia juga yang ketiduran.
*
‘Nanti malam ya?’ katanya sambil meneguk kopinya.
Khas orang Italia, katanya.
Kopi itu bukan disesap pelan-pelan macam yang aku lakukan.
Tapi lakukan dengan sekali tegukan.
Bah! Pahit pisan!
Tapi tetap ku mengangguk mengiyakan.
Sambil menghirup kopiku perlahan.
*
Delapan lewat tiga puluh, ia berdiri.
‘Duluan. Ada kerjaan.’ katanya berpamitan.
Entah kemana lagi ia akan bepergian.
Aku mengangguk dalam diam.
Kenapa kala di depannya, tak ada kata keluar.
Hanya bisa mengamati apakah ia ada perubahan.
Rambutnya, bibirnya, dan terutama matanya.
Selalu berakhir lega, karena tetap kutemukan aku di bola mata.
*
Pangeran jaman sekarang, memang tak perlu putri-putrian.
Hanya wanita sederhana, yang melimpahinya dengan sayang.
Termasuk menyiapkan kopi setiap hari.
Dan rela meminumnya, untuk ditukar dengan tidurnya nanti malam.
*
sumber gambar dan referensi : cikopi.com dan pinterest.com