Atap Terbang

pinterest.com
pinterest.com

‘Bu, atapnya terbang!’ teriak Pak Giman panik di ujung telepon.

Aku terhenyak. Tadi kantor kutinggalkan agak awal karena harus ke bank. Diiringi hujan lebat dan angin yang menderu, kuselesaikan urusanku. Kini di perjalanan pulang, Pak Giman menyampaikan kabar buruk itu.

‘Lalu, mesinnya gimana Pak?’ tanyaku sambil memberi kode pada Pak Joko untuk berbalik arah menuju pabrik.

‘Basah semua Bu! Sudah berusaha saya tutupi, tapi sempat kehujanan. Aliran listrik saya matikan.’ katanya cepat.

Aku bersyukur Pak Giman orangnya tanggap, dulu ia pegawai kepercayaan Papa, kini ia menjadi tangan kananku. Ia bisa kupercaya memimpin 20 orang pegawai yang masih terjebak hujan angin ini.

‘OK Pak, saya kesana!’ kataku memutus pembicaraan. Atap terbang, berarti air hujan masuk dengan bebasnya ke dalam. Mesin basah semua, dan..genangan air! Genangan air itu akan memasuki saluran-saluran kabel bawah tanah. Haduh.

Padahal mesin-mesin itu sudah ada sejak Papa mendirikan perusahaan mebel kayu ini. Terbukti awet, perawatan rutin saja. Jika rusak, segera diperbaiki, lagi-lagi oleh Pak Giman, mantan operator yang kini menjadi supervisor produksi.

Sekarang, mesin-mesin terancam tak bisa jalan lagi. Order dari Pak Vincent sedang dikerjakan. Masih ada order dari Pak Eko dan Pak Benny. Belum lagi…material!

Aku baru ingat, kemarin, material berupa lembaran kayu multiplek yang kami butuhkan datang. Cukup banyak dan mahal, sehingga kami simpan di gudang. Nah, gudang ikut basah tidak ya…

Pak Joko mengemudikan mobilmya dengan hati-hati. Pandangan sangat terbatas saat ini. Untuk kali ini aku menahan tanganku untuk tidak mencoleknya sambil berkata ‘Cepetan Pak!’ daripada ada apa-apa di jalan.

Akhirnya tiba juga aku di kantor. Aku meminta Pak Joko langsung menuju lantai produksi, parkir di sana saja. Bergegas aku turun ingin melihat keadaan pabrik.

Aku melihat lembaran – lembaran kayu, material mahal yang datang kemarin, dijadikan penutup mesin- mesin. Tetesan air yang masuk dari atap yang bolong, menghujam dengan kejam lembaran – lembaran tersebut. Terbayang kerugian yang harus kutanggung. Rasanya semua kayu ini akan terpakai, karena air menyesap ke kayu tersebut, untuk kemudian menetes ke mesin, mesin tua yang masih laik bekerja.

Kedua puluh pekerja kami menepi, berdiri sambil bersandar di dinding karena itu satu-satunya tempat aman dimana atap masih ada sebagian. Sesekali mereka mengambil kayu yang masih kering, membawanya ke mesin, mengambil yang basah dan mengganti dengan yang kering. Tumpukan kayu-kayu basah diletakkan ke pinggir.

Tak kupedulikan tetesan hujan yang masih besar-besar, kucari Pak Giman. Ternyata ia ada di gudang bahan baku, mencari-cari lagi material apa saja yang bisa digunakan, jika lembaran kayu tersebut sudah habis.

‘Eh Ibu.’ katanya singkat sambil memandangku sekilas. Selanjutnya matanya sibuk mencari-cari lagi. Alih-alih berkata ‘Ngapain pakai kayu mahal Pak?’ yang keluar dari mulutku adalah ‘Masih ada yang bisa dipakai?’

Tadinya mau marah-marah, melihat kerugian yang ia ciptakan. Tapi melihat badannya yang kuyup, merelakan tubuhnya demi mesin yang disayanginya, aku urung mengomelinya. Demi melindungi aset pabrik, atau mungkin teman setianya saat melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan ketulusan.

Sambil membantu mencari material lain, aku merunut percakapanku dengan dia. Dari tadi yang kucemaskan mesin dan kayu-kayu mahal ini. Pernahkah aku tanyakan tentang Pak Giman dan pegawaiku yang lain? Keadaan mereka saat atap terbang. Apakah mereka kehujanan? Atau lebih parah, adakah yang tersetrum karena listrik terlambat dimatikan?

Rasanya aku belum menjadi pimpinan perusahaan yang baik. Aset utamaku adalah manusia, bukan mesin.

Akhirnya hujan reda. Kuminta Pak Giman dan para pegawai segera pulang, dengan lubang besar menganga di atap. Pak Giman menggeleng ‘Malam ini saya nginep disini saja Bu. Saya khawatir nanti malam hujan lagi.’ Aku mengangguk. Para pekerja memang baru datang besok untuk mengganti atap. Para pegawai juga ada beberapa yang tetap tinggal. ‘Saluran harus dibersihkan Bu. Isinya penuh dengan air. Kabel-kabelnya terendam. Mesin tak bisa dinyalakan kalau belum kering benar.’

Betapa lucunya jika selama ini aku mengira mereka hanya pegawai tenggo. Begitu jam pulang teng, langsung go. Ternyata mereka juga rela memberikan waktunya untuk perusahaan.

‘Baik,’ kataku sambil tersenyum ‘Besok produksi diliburkan.’ Tak usah pikir keuntungan melayang.

Dan kini aku bersama – sama Pak Giman dan pegawai lainnya, bahu membahu menyendokkan gayung dari kamar mandi, ke saluran bawah tanah yang penuh air.

Semua gara-gara atap terbang.
***

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s