Pernah ngga diwawancara mendadak di tengah keramaian?
Berhubung kebanyakan masyarakat Indonesia bukan selebritis atau pejabat, maka mendadak diwawancara cukup bikin cemas dan mules. Malah kalau bisa ditolak dan dialihkan saja ke orang lain yang lebih berani. Berani ngomong dan berani malu, kalau ternyata jawabannya terdengar bodoh bin ngasal begitu ditayangkan.
Ceritanya, saya meninggalkan Ibu saya sendirian saat akan pulang ke kotanya, karena pengantar tidak boleh masuk stasiun. Ternyata, di tengah penumpang yang sedang menunggu kereta, terdapat beberapa kru televisi lokal yang sedang melakukan pengambilan gambar. Ibu saya yang sedang terbengong-bengong sendirian, didekati oleh presenter cantiknya.
‘Ibu, boleh minta ijin diwawancara?’ begitu cerita Ibu ketika saya telepon untuk memastikan Beliau telah selamat sampai rumah. Saya senyum-senyum membayangkan kenapa Ibu saya yang dipilih ya? Apa karena cantik seperti anaknya? *tetep, numpang eksis*
‘Ah..mau tanya apa mbak?’ tanya Ibu saya ragu.
‘Ini saja kok Bu, Ibu mau kemana, lalu naik kereta apa, puas ngga dengan pelayanan PT. XXX ini’. Eh, ngapain PTnya disamarkan ya, kan cuma satu-satunya..hihihi.
‘Oh, cuma gitu aja. Trus, jadi ngomong?’ kejar saya penasaran.
‘Ngga, mamah tolak.’ kata Ibu saya santai.
‘Hah?! Kenapa?’ ujar saya heran. Kalau nanya itu doang sih, gampil!
‘Itu..takut malu’ jawab Ibu tenang.
Haish. Gini deh penyakit orang Indonesia. Takut malu.
Kenapa saya bilang begitu? Karena saya juga!
Jadi waktu itu saya sedang menjaga stand jurusan dalam rangka Dies Natalis Universitas, di suatu pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya. Stand yang saya jaga menampilkan software container loading, lengkap dengan mainan truk dan muatannya, untuk game. Panitia waktu itu menghubungi saya, untuk siap diwawancara. Sempat menolak sih dengan dalih orang lain saja. Dasar apes, yang bukan mahasiswa cuma saya di stan tersebut. Sempat deg-degan juga, karena suara saya akan terdengar oleh pengunjung mall, tanpa teks dan persiapan, setidaknya bocorin dulu kek pertanyaannya apa. Biar ngga mokal ketika wajah saya sekalian ditayangkan di beberapa layar lebar yang tersebar di beberapa titik.
Akhirnya tibalah waktunya. Kedua presenter itu turun dari panggung, dan mulai mendekati setiap stan yang ada. Yang datang ke stan saya adalah presenter cewek, yang menanyakan maksud dibuatnya software tersebut. Lalu kami juga diminta memperagakan cara mainnya.
Saya, tak dinyana, lupa kalau lagi direkam kamera. Dengan lancar (dan panjang) menceritakan ini itu, sampai presenternya pegel sendiri megangin mike buat saya. Lalu mungkin saking bosannya, atau dianya yang ngga profesional, alih-alih kontak mata dengan saya, matanya malah lirak lirik sekitar, atau memberi dan menangkap kode dari panitia. Tapi saya cuek aja, daripada sakit hati mending terangin lagi, lagi dan lagi *grin*.
Akhirnya wawancara selesai, presenter tersebut meninggalkan saya untuk menuju stand lainnya. Seorang panitia mendekati saya. ‘Memang ya Bu, kalau dosen itu beda. Ngakunya malu, begitu diwawancara malah ngomong lama banget’. Hehehe, itu namanya malu-malu mau.
Pengalaman berikutnya waktu datang ke Kompasianival. ‘Diseret’ Babeh Helmi untuk masuk stand Koplak Yo Band, lalu di tengah hingar bingar panggung musik, Beh Helmi dengan serius menanyai saya tentang kiat menulis (Eh, ciyus nih Beh? Ngga salah orang?), dan dengan serius juga menyimak jawaban saya. Jadi yang diwawancara ikut semangat.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut, saya menyimpulkan perlunya panitia atau kru menemukan nara sumber yang tepat, dan bersedia diwawancara, dengan diberi persiapan secukupnya supaya orang lebih pede. Kemudian sikap presenter akan mempengaruhi jawaban dan sikap narasumber selama sesi wawancara.
***
sumber gambar: ngumbul.blogspot.com