Pernah Kau Titipkan Rasa

20121207-212437.jpg

Saya diam-diam memandangnya, wanita yang telah mendampingi saya lima tahun lamanya. Tak perlu dibuktikan bagaimana setianya ia, dan selalu menunggu saya kembali padanya.

Pekerjaan saya yang berpindah-pindah, membuat ia harus menahan rasa. Saya yakin ia bisa, karena sampai saat ini ia selalu bersama saya.

Namun kali ini ada yang beda. Tatapannya kosong saat mendengarkan saya, tubuhnya gelisah seakan ada yang disimpannya. Saat saya ingin mendekatinya, refleks tubuhnya menjauhi saya.

Sayang, ada apa? Salahkah saya? Apa kamu rindu demikian rupa, hingga marah pada saya?

Saya masih memandangnya, diam-diam. Poninya terjuntai di depan. Ingin saya selipkan ke telinga, seperti yang biasa saya lakukan. Tapi kini, saya khawatir tangan saya akan ditepisnya.

Pipinya kini tak merona, jika biasanya saya datang menemuinya. Matanya tak menatap saya, padahal saya sungguh rindu tatapan itu. Seperti telaga, begitu sejuk dan dalam, membuat saya tak bisa tidur semalaman. Tak tahukah dia, mata itu yang menguatkan hari-hari saya saat jauh dengannya. Mata yang berbinar saat melihat saya datang menemuinya. Tapi tidak di hari ini.

Bibirnya membisu, padahal dulu aktif bercerita. Bercerita apa saja, dan saya hanya tertawa mendengarnya. Kadang menggoda, seribu kicau burung telah tergantikan olehnya. Satu cubitan mesra mendarat di pinggang saya, tepat saat saya merengkuhnya.

Memeluknya. Membenamkan kepalanya di dada. Biar dia merasa. Ada detak jantung yang ingin menyatu dengan detaknya. Dan saat dia menengadahkan kepala, bibir saya akan menyentuh lembut bibirnya. Lama. Sampai hangatnya terasa.

Sekarang, mana bisa. Saya hanya bisa terdiam memandangnya. Perjalanan ratusan kilometer hanya untuk menemuinya, menjadi sia-sia. Padahal saya disini hanya sebentar. Dua hari lagi harus pulang, atau bila seperti ini, saya percepat saja. Besok, saya putuskan untuk kembali.

Tak tahan saya bertanya, ada apa? Kenapa kamu menghindar begini?

Digelengkannya kepalanya. Dia menyembunyikan sesuatu. Saya akan menunggu.

Kini saya dan dia duduk termangu di ruang tamu. Sungguh lucu, kami yang selama ini bisa duduk hingga jadi satu, kini bagai dua orang asing yang saling bertemu. Saya menghadapnya, sedang dia tak mau menghadap saya.

Kita putus ya. Itu katanya.

Saya terdiam. Menunggu saya, hanya untuk mengatakan hal itu? Selain sudah membuang waktu, kamu kira gampang bagi saya mendengarnya, saat disini tak ada pelampiasan untuk melepaskan kekesalan?

Kenapa? Saya bertanya pelan.

Ia hanya mengatakan karena jauhan. Hah, kenapa tak dari dulu? Sejak awal jadian, dia sudah tahu, bakal sering ditinggal-tinggal. Kalau dulu tidak jadi masalah, kenapa sekarang berubah?

Ada yang lain ya? Tebak saya sambil menyembunyikan getar.

Lagi-lagi mata itu tak berani menatap saya. Kini kepalanya menunduk. Tak ada anggukan, dan gelengan. Pelan bahunya terguncang. Tetesan air mata mulai membayang.

Saya bangkit. Tak perlu bertanya lagi. Untuk dia yang telah mengkhianati, kiranya cukup sampai disini.

Saya menghampirinya. Membelai mesra rambutnya. Air matanya makin deras mengalir, tapi tak ada suara.

Makasih selama ini telah setia menemani. Rasa yang pernah kamu beri, akan tetap di hati. Kita harus terus berjalan, tapi kini sendiri-sendiri.

Seusai mengucapkan itu, saya beranjak pergi.

.

IndriHapsari

Komen? Silakan^^