
Pernah baca artikel Tentang Fitnah-fitnah Itu? Ceritanya, saya yang berusaha cuek bebek ini kena juga.
Teguh pas pilpres biar ngga gampang terpengaruh dengan berita ini itu, lalu berpikiran positif semua sudah bisa menerima pemerintah baru. Lah ternyata kok ada yang ngga dan sepet rasanya berada di ruang percakapan media sosial.
Ya salah saya juga, bukannya Anang juga sudah bilang, kalau ngga suka lihat persalinan istrinya, ya ganti channel aja 😀 Mestinya kan gitu ya, ngga suka sama medsosnya, ya out dari sana. Gitu aja kok repot. Usul yang sama yang ingin saya sampaikan kepada mereka yang ngga suka sama pemerintah sekarang, kenapa ngga pindah negara aja? Ada 192 negara lain di dunia, silakan pilih yang sesuai selera. Buat list harapannya, langsung pindah kesana. Atau…ngga punya kemampuan untuk itu? Emang sih, negara-negara tersebut biasanya menerima atau menawarkan kewarganegaraan berdasarkan kemampuan si orang asing. Misal nih, teman saya selesai studi doctoral di luar negeri ditawarin jadi warga negara sana. Ya mana mau lah negara lain nerima warga negara yang ngga bisa apa-apa kecuali mengeluh.
Saya pernah baca status yang memuja pahlawan negara lain, sebagai tokoh revolusioner, berani menentang negara adidaya, menerapkan sistem semua sama rata bagi masyarakatnya. Sounds good. Tapi suatu hari saya baca kisah perjalanan ke negara tersebut, kayanya ini negara lebih susah deh daripada Indonesia. Ckckck….rumput tetangga emang lebih hijau, sayangnya cuma liat doang, belum guling-gulingan di atasnya.
Itu sebabnya kita perlu penyeimbang, atau sekalian baca satu sumber aja yang memuat informasi secara objektif. Lama-lama pusing juga, dibombardir dengan berita dan sikap negatif, hidup kok kayanya penuh masalah. Padahal kalau baca di media pilihan, ya ngga gitu-gitu amat.
Media yang sebaiknya menjadi pilihan, adalah media nasional yang sudah lama bertahan, untuk mendapatkannya harus membayar, dan professional. Bertahan menunjukkan media ini sudah melalui asam garam jurnalisme. Ada yang manis, ada yang kantornya dilempari batu. Mereka juga berhati-hati terhadap pemberitaan, jangan sampai malah berurusan dengan hukum, tanpa mengorbankan kebenaran. Makanya cek ricek terus, bayar wartawan beneran, bukannya rumahnya dekat situ atau pas kebetulan lewat sana, trus nulis jadi dah wartawan. Editor dan pimpinan redaksinya punya kerjaan, bukannya nulis langsung tayang. Media ini juga punya harga diri, berani menetapkan harganya berapa dan pembacanya rela beli atau langganan, sekaligus dipercaya bagi pihak perusahaan yang mau menitipkan iklan. Kerja yang ngga gampang, dan ngga bisa kalau caranya pasang berita heboh doang.
Untuk itu saya pilih Kompas.
Harian cetak nasional ini sudah akrab sejak saya kecil, hidup di kota kecil, jadi orang kecil. Maksudnya akses ke atas dan ke pusat itu bagai bumi dengan Bekasi…eh…langit 😛 Kompas yang koran pagi dan datang tiap hari jam 6 sore itu (saking jauhnya), memuaskan kami sekeluarga tentang apa sih yang terjadi di Indonesia, terutama Jakarta, dan negara-negara lain. Tampilannya ya gitu-gitu doang, beritanya mesti dibaca jam-jaman karena sulit dimengerti (buat saya loh) tapi sekaligus bikin tambah wawasan.
Ketika di pilpres banyak media konvensional ini dituduh berpihak, beritanya mendukung program capres tertentu, saya yakin Kompas melakukannya karena alasan yang logis. Beritanya ngga tendensius, tidak pula mendewakan semua kebijakan capres tertentu, pun ngga mau menjelek-jelekkan capres yang lain. Menurut saya ini sikap yang elegan, membuktikan kalau Kompas tidak serendah penuduhnya.
Saat pemerintah baru sudah berjalan, kita tahu banyak sekali berita bersliweran, sekecil apapun, dan se-ngga-nyambung apapun, yang menjadi polemik menarik untuk didiskusikan. Entah ya, saking menariknya bahasannya atau saking longgar waktunya. Yang mendukung, bisa karena alasan logis, bisa juga karena ‘apa aja yang penting dia benar’. Sehingga semua kebijakan ditelan mentah-mentah ngga diliat kalau ada boroknya atau penyakit dalamnya. Yang tidak mendukung juga ada dua, yang mengkritik dengan alasan logis, dan yang ‘apa aja yang penting dia salah’. Yang bagus sih yang bisa di tengah-tengah, memuji atau mengkritik sesuai konteksnya, bukan apa-apa muji, apa-apa nyinyir. Karena pemerintah kita yang jalanin ya manusia juga, yang tidak sempurna. Lagian lo ya, kalau pemerintahnya setan, kita juga yang susah. Tapi dengan mendoakan semoga mereka takut Tuhan, yang untung ya kita juga.
Anyway, saya sempat percaya atas berita larangan pemakaian kerudung di BUMN. Berdasarkan foto yang katanya dari tim psikologinya, dari beberapa berita di situs berita, kok kayanya beneran. Wah asli nih bisa bikin ribut. Tapi, ketika saya cek ke seorang pegawai BUMN, malah dia nanya beneran ta? La yang di dalam instansinya sendiri aja ngga tau ada berita gitu! Kok yang di luarnya sudah pada heboh? Akhirnya memang berita itu terbukti tidak benar, dan pencetus beritanya dibully di media sosial. Tapi itu bukan ending yang membahagiakan.
Seperti di artikel Tentanb Fitnah-fitnah Itu, atau kisah paku yang ditancapkan pada kayu, meski sudah dilepaskan, lubangnya masih tetap ada. Apalagi ini di media internet yang setiap orang bisa mengambil dari sumber mana saja, bisa seperti di mesin waktu karena berita jaman sekarang bukan hanya masa lalu saja yang bisa diakses, namun juga berita di masa depan, berkat ‘kemampuan ramal’ para pembuat opini. Sama juga dengan berita bohong yang terlanjur disebar, suatu saat anak cucu kita akan bisa membacanya, atau orang tua yang tidak dewasa akan menggunakannya untuk memperjuangkan opininya. Kekhawatiran saya beralasan, karena hal itu juga yang dipakai saat musim pilpres kemarin. Berita-berita yang bersliweran belum tentu benar, terpercaya dan sama timingnya.
Secara umum berita yang masih dikomentari di medsos adalah suramnya pemerintah baru. Soal opini dari penulisnya atau diskusi di dalamnya, ngga usah dipikirin dan diambil hati, wong sama awamnya dengan saya. Cuma triggernya ini yang seandainya benar, membuat saya khawatir juga, maunya pemerintah apa? Ternyata berada di lingkungan negatif membuat kita jadi ikut was-was ya. Sama seperti ungkapan berteman sama malaikat susaaah banget jadi malaikat, berteman sama rampok gampang banget jadi rampok. Kalau kita hidup di kampung maling, lama-lama kita akan beranggapan mengambil barang orang tanpa permisi itu diperbolehkan. Kalau kita terbiasa hidup di lingkungan yang bebas mengutarakan pendapatnya lewat tulisan, termasuk potensi menyinggung pihak lain atau fitnah, lama-lama kita beranggapan oh inilah standar etika yang sekarang berlaku.
Dan di saat kejenuhan membaca hal-hal yang bersliweran tersebut, saya coba membaca Kompas yang hadir tiap malam tapi ngga sempat disentuh (maklum, nunggu yang dari kantor pulang :D) Jadi sadar deh.
Lah, ini kan yang dibahas tadi.
Lah, ini kan latar belakang kenapa kebijakan itu ada.
Lah, ini kan rencana kerja lengkapnya…
Akhirnya banyak pelajaran yang saya dapatkan. Apa yang Anang sebelumnya telah ungkapkan menyeruak kembali ke ingatan saya. Tinggalkan kalau ngga suka. Saya bukanlah orang terjajah yang harus menerima info dari satu sisi saja, saya punya pilihan, lalu mengapa masih tertarik dengan kubangan? Pelajaran lain adalah rasa percaya. Percaya akan menentramkan hati kita daripada curiga. Percaya akan membuat kita mengabaikan hal-hal kurang penting dan mengurusi hal yang lebih penting dan bisa memberikan kontribusi daripada caci maki.
Masalah mengkritik, biarlah dilakukan mereka yang memang bidangnya, dan punya akses untuk memperbaiki sistem. Bukan sembarang orang bebas ngomong, karena tahu mereka ngga akan repot diserahi tanggung jawab mengurusi perbaikan karena berada di luar sistem. Kalaupun kritik itu harus disampaikan karena ditungguin kok ngga ada yang berani ngomong, sampaikanlah dengan sopan, identitas jelas, dan dikirimkan pada media nasional. Kenapa? Karena opini semacam itu sudah melalui penyaringan redaksi, berguna atau tidak bagi khalayak mengetahuinya. Biasanya opini berhenti sampai judgment, belum masuk usulan perbaikan. Ya ini sih lihat jam terbang penulisnya ya, tau banyak atau tau-tau aja. Redaksi juga akan menilai penting atau logis ngga sih opini yang diutarakannya? Jangan-jangan kita aja yang merasa penting, sementara yang lain ngga 😀

***
IndriHapsari
*hanya pembaca Kompas*
Dasyat. Hehe kalau chanel tv apa ni mba yg sering di liat?
Natgeo sm afc 😀 klo indo kompas tv *tetep 😀
Wah tv berlanganan yak hehe. Fiksinya kapan update lg mba.
Iya Mas Lim, soalnya bolak balik nyetel tv indo klo ngga gosip, sinetron, ya berita yg tendensius 😀 Sy berasa ngga nambah apa2 dgn menonton tv.
Fiksinya lg ngga mood Mas, lg berkutat sm angka 🙂
Bener tu bu.. Isisnya sinetron dan gosip yg itu-itu saja. Hehe ok tidak apa. Ttp d tunggu kapan-kapan fiksinya hehe.
Makasih Mas Lim mau nungguin..eh kok kayanya model komennya familiar ya 🙂
Haha. Duh ketauan yak. Haha ya ini yang itu loh mba. Cuma ganti yang baru aje. 😀
Ooh…pantes..tulisannya jg rapi…(dulu) org K jg ya 🙂
Koq sama, kompas pagi datangnya sore…hehehe…
Saya sdr ngurangi di medsos bu…terutama fb…kadang g kuat di hati…sesekali nengok2 sj…
Baca status atau komen teman dgn bahasa nyinyir bikin meriang…tp yg bikin mual baca status orang yg sok…yg muna..yg muka dua…
Pengennya quit..tp ntar hilang kontak…kl bu indri masih setia sy kunjungi blognya..
Pelariannya ya baca situs yg nambah ilmu berkenaan dgn apa yg sedang sy tekuni saat ini…
Sy msh di fb, tp unfriend dan unfollow tegas sy lakukan, buat mrk yg pny standar etika beda dlm mengkritik sesuatu. Kita mesti memproteksi diri sendiri utk menjaga optimisme hidup.
Wuah makasih ya Pak Ve berkenan hadir di mari 🙂