PRANG!!
‘Sus! Dian bawa ke belakang ya. Sekarang!’ Nonik berkata dengan tergesa. Aku cepat-cepat keluar dari kamar tidur Nonik. Dian baru saja terlelap ketika suara gaduh itu datang dari ruang tamu. Kali ini entah apa lagi yang pecah. Di ruang tengah aku bertemu majikan priaku yang bergegas masuk kamar tidur, dengan wajahnya yang memerah. Baru jam 8 malam dan ia sudah teler?
Di halaman belakang, temanku sesama pengasuh, Sri, sedang menggendong Dion, kembaran Dian, menggunakan jarik atau kain batik. Meskipun Nonik mendapat hadiah seperangkat peralatan menggendong modern yang cocok benar dengan motif tas bayi dari merk terkenal, tetap saja Dian dan Dion lebih cepat terlelap jika digendong dengan jarik. Aku rasa kain ini lebih adem, sehingga mereka lebih merasa nyaman.
Tadi Dian terlelap lebih dahulu, sehingga akan kutidurkan di kamar Nonik. Meskipun si kembar punya kamar tidur sendiri, lengkap dengan boks dan tempat tidur aku dan Sri, Nonik lebih senang tidur dengan anak-anaknya di kamar tidurnya, terutama jika majikan priaku tidak ada.
‘Ribut lagi?’ tanya Sri menatap wajahku yang keruh.
Aku mengangguk. ‘Setiap Koko pulang pasti ribut. Kasihan Nonik, sudah capek kerja, masih juga mesti menghadapi Koko yang kalap.’
‘Mabuk lagi?’ tanya Sri sambil tetap menepuk-nepuk pantat Dion agar tak terbangun.
‘Ya..gitu. Kok bisa ya. Ngga pulang berhari-hari, begitu pulang datang dalam keadaan tak sadar. Apa ngga kasihan sama anak-anak? Padahal banyak lho yang kepingin anak kembar. Ini malah ditinggal-tinggal,’ keluhku.
‘Mau tahu ndak, Mas Parman bilang apa?’ kata Sri misterius. Mas Parman atau Pak Parman adalah sopir majikanku. Sejak Koko sering pergi, praktis Pak Parman hanya mengantar Nonik.
‘Bosmu itu salah gaul!’ lanjut Sri tanpa menunggu jawaban. ‘Bisnis sih bisnis. Tapi kena godaan itu yang susah! Untung dihabiskan semua buat judi. Temannya yang mengenalkan, dan Bosmu ketagihan! Makanya Nonik sampai kaget dengar tabungan di bank ludes diambil dalam beberapa kali tarikan.’
Aku mendengus. Gemas rasanya mendengar cerita itu. Untung Pak Parman bisa mengendalikan dirinya dan tetap fokus menyetir mobilnya. Cerita-cerita pribadi seperti ini tak pernah diutarakannya pada kami, sehingga pasti ia memdengarnya saat Nonik sedang berbicara di telepon dalam perjalanan. Dialah sumber informasi kami tentang apa saja yang terjadi dengan kehidupan majikan kami.
‘Lebih parah lagi,’ kata Sri melanjutkan, ‘Rupanya judi benar-benar menuntun dia ke kebobrokan lainnya. Mabuk itu salah satunya. Lainnya…’ mata Sri membesar. Menekankan pada efek drama yang akan diciptakannya. ‘Bosmu main cewek!’
Tiba-tiba Dian, yang sedang kugendong menangis. Segera aku goyangkan ia, agar Dian merasakan ayunan yang lembut. Sambil mendesis pelan, akhirnya Dian tak jadi membuka mata, dan terlelap kembali.
‘Kok bisa?’ bisikku pada Sri. ‘Nonik cantik. Baik. Bisa mendukung Koko dalam usahanya. Ngasih anak-anak manis ini. Kok tega?’ Meski baru enam bulan bekerja di rumah ini, namun aku bisa membaca situasi.
Sri mengedikkan bahunya. ‘Ngga tahu ya. Hidup kadang memang aneh. Orang bisa berubah. Waktu kita pertama datang, semua nampak baik-baik saja, jadi kita bisa fokus merawat si kembar. Lah, makin hari kok Bosmu makin kurang ajar. Sudah jarang pulang, ngga peduli anak-anak, setiap pulang pasti ribut perkara uang lah, cewek lah. Belum kegemarannya mabuk-mabukan.’
‘Kasihan Nonik.’ Aku membayangkan jika berada pada posisinya, sanggupkah aku bertahan? Kehadirannya di rumah ini malah membawa perang, bukan kedamaian.
*
Akhirnya rumah kembali sepi, karena bos laki-laki menghilang. Kami bisa bekerja dengan lebih tenang. Namun kasihan Nonik, dinantinya suaminya itu pulang. Seminggu, masuk minggu kedua, ketiga, hari ini genap sebulan ia pergi. Akupun merasa aneh, tak pernah ia pergi selama ini. Biasanya selalu pulang, apalagi kalau bukan minta uang atau menjual barang-barang di rumah.
Gaji kami dibayarkan tepat waktu, demikian pula gaji Pak Parman dan Mbak Indah, yang bertugas memasak dan membersihkan rumah. Namun Pak Parman bilang, siap-siap. Maksudnya, untuk diberhentikan kerja. Karena usaha Koko sudah berhenti ditinggal pemiliknya, kini praktis hanya Nonik yang membiayai kebutuhan keluarga, termasuk membayar kami.
Makin hari rasanya wajah Nonik makin tidak segar. Mungkin ia sering menangis kala malam, mungkin ia terus kepikiran suaminya, dan mungkin cemas dengan masa depan si kembar. Nonik tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, tanpa ia sempat memikirkan dirinya.
Lalu masalah datang.
Bolakbalik rumah kami didatangi para pria berbadan besar. Dengan menyebut nama suaminya, mereka menuntut Nonik melunasi hutang-hutang suaminya yang telah lama tak dibayarkan. Meski kami bilang tak tahu ia dimana, tapi tetap saja mereka datang dan menagih. Awalnya halus, lama -lama makin kasar dan bernada mengancam. Sehingga makin malas kami membuka pintu untuk mereka.
Pak Parman bilang, hutang Koko mencapai setengah milyar! Semua habis karena judi. Dan ternyata, yang diagunkan adalah surat hak milik rumah mereka! Maka kami semua, terancam tak bisa menempati rumah ini lagi jika Nonik tak bisa melunasinya.
*
Malam itu kami semua dikumpulkan. Aku, Sri, Pak Parman, dan Mbak Indah. Si kembar sudah tertidur, dan masing-masing sudah kami letakkan di boksnya.
‘Mbak-mbak dan Pak Parman, mestinya sudah tahu ya apa yang terjadi selama ini. Yang pasti, keadaan saya sedang tidak bagus. Sekarang saya adalah pencari nafkah tunggal. Jika hanya mengandalkan gaji, saya tidak bisa membiayai semua pengeluaran, termasuk gaji mbak-mbak dan Pak Parman.’
Kami terdiam. Nonik adalah tipe majikan yang tidak cerewet dan menghargai kerja kami. Berat rasanya bila kami dikeluarkan dan harus mencari majikan lain, yang belum tentu cocok dengan kami.
‘Saya berencana akan berhenti dari pekerjaan lama, dan membuka usaha katering, karena saya suka masak dan punya keahlian di sana. Peralatanpun sudah punya, peninggalan Mama. Tapi namanya usaha baru, pasti awalnya seret dulu. Setelah dikenal, baru kita bisa merasakan hasilnya. Sambil menunggu itu, saya khawatir, tidak bisa membayar gaji seutuhnya. Saya usahakan ada uang yang bisa mbak-mbak simpan, tapi saya tidak yakin dan tidak tahu juga berapa besarannya.’
Kami saling melirik. Bekerja tapi mungkin tak dibayar. Belum suasana rumah yang tak nyaman karena kedatangan Debt Collector.
‘Karena itu saya memgharapkan pengertian mbak-mbak dan Pak Parman. Namun saya tidak bisa memaksa. Jika keberatan dan hendak keluar, saya bisa menyarankan beberapa nama teman saya sebagai tempat bekerja yang baru.’
Kami menunduk. Perasaan ragu berkecamuk di otak dan hati kami.
‘Sekarang, saya tanya, siapa yang ingin keluar?’
Pelan-pelan beberapa tangan teracung ke atas.
*
Genap sebulan aku dan Nonik bahu membahu mengurus si kembar, karena Sri memilih keluar. Nonik tak lagi bekerja, sehingga ia bisa mengurus Dian dan Dion. Rasa terimakasih sering ia ungkapkan, karena sebetulnya ia tak bisa membayangkan jika kedua pengasuhnya bersamaan keluar.
Mungkin sudah tiga kali, Nonik menerima pesanan untuk kateringnya. Bukan yang besar, namun cukup untuk menyambung hidup. Kala si kembar sudah tertidur, kadang kubantu Nonik di dapur, dengan mbak Indah yang juga memutuskan tinggal. Kalau aku beralasan saat ini kebutuhanku tak banyak karena orang tuaku masih kuat bertani dan aku belum berkeluarga, mbak Indah beralasan yang penting baginya ia punya tempat berteduh dan tercukupi makannya. Sungguh pemikiran yang menyederhanakan permasalahan.
Pak Parman juga keluar, mungkin ia berencana menikahi Sri, sehingga ia membutuhkan banyak uang untuk pernikahannya. Jika ada pesanan, Nonik yang menyetir sendiri mobilnya, dan mengirimkan masakan dan perlengkapannya. Ada beberapa pegawai yang direkrutnya setiap ada acara untuk membantu selama acara berlangsung.
Yang lainnya sama, Koko tetap tidak pulang, tidak memberi kabar, bahkan mungkin ia sudah menikah lagi. Pak Parman bilang ia pernah melihat majikan prianya keluar dari bar, dengan memeluk seorang wanita berpakaian minim.
Mendengar itu menurutku sudah cukup alasan Nonik untuk menceraikan Koko segera. Sudah kabur meninggalkan masalah, masih saja menyakiti hatinya dengan kabur bersama wanita lain. Namun Nonik berkata, Koko tetaplah papa bagi si kembar, dan duluuu, mereka pernah hidup saling mencintai.
Selain itu, katanya, apa yang disatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan manusia.
Aku tak pernah mengerti maksudnya. Kurasa Nonik orang terlugu di dunia. Tapi sekaligus aku merasa, dengan rela Nonik menjalaninya.
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/2251868537164136/