Mari kita mulai acara pergosipan minggu ini, or gossip on the week dengan kabar kabur tentang bisnis Ustad Yusuf Mansyur. Menurut berita Tempo.co Bapak Ustad ini, yang biasanya mengajar umat, menghimpun dana masyarakat yang kelak dibelikan apartemen, tanah, sawah, ladang minyak, bank, dan stasiun televisi.
Sekarang sih lagi tutup sejak dinasehati Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena model seperti ini rentan dan belum ada ijinnya. Tapi yang jadi pertanyaan menarik, memang boleh yah pemuka agama berbisnis?
Masalah seperti ini ngga terjadi di agama tertentu saja. Saya bisa bilang, semua agama yang saya tahu di Indonesia, adaaa aja pemuka agamanya yang kaya karena bisnis. Karena kalau sampai kaya karena umat, pastilah dicap berdosa. Nah, kalau karena bisnis, gimana?
Pertama, mari kita lihat ajaran agama. Agama manapun pastilah melarang umat untuk memperkaya diri sendiri. Yang baik, ya disalurkan ke yang membutuhkan. Apalagi kalau di Indonesia, ‘stock’ orang miskin itu banyak, jadi dana yang dibutuhkan tak terbatas. Sehingga, kalau melihat ada orang yang kuaya banget, jadi mikir kan, filantropinya kurang kenceng tuh. Meski mereka berhak menikmati hasil kerja keras mereka dan menyumbangkannya sebagian, tapi sekali lagi, demand orang susahnya masih tinggi, dan aneh aja kalau ada yang sempat kaya sendiri.
Sehingga, kalau melihat pemuka agama serba mentereng, umat jadi berpikir kan, loh duitnya kok dipake buat sendiri? Satu pendeta di Surabaya terkenal karena rumahnya yang mewah (ada patung Romawi di atapnya) dan mobil sportnya. Apakah umatnya begitu sejahtera sehingga bisa ngebeliin pendetanya barang super mewah? Katanya sih dari bisnis. Dan sungguh jauh dengan keadaannya Bunda Teresa.
Memperkaya diri sendiri, berarti sebaiknya dihindari oleh pemuka agama, karena merekalah contoh welas asih terhadap sesama manusia.
Kedua, kalau pemuka agama berbisnis demi kemaslahatan umat gimana? Asal ngga memperkaya diri sendiri, saya rasa boleh saja. Pemuka agama sebagai pelopor, atau pendorong umatnya untuk berusaha. Jadi fungsinya di sini seperti dewan penasehat, atau dewan komisaris. Perputaran modal dan keuntungan, biarlah jadi urusan umat demi kepentingan agama, tempat ibadah, atau kesejahteraan umat.
Misal pemuka agama melatih budidaya jamur, merancang sistem, berwirausaha, lalu mendampingi umat waktu melakukan bisnisnya. Daripada membiarkan umat minta-minta di jalan, kenapa tidak dibuat produk atau usaha yang inovatif, agar orang mau membeli dengan rela, dan tempat ibadah misalnya, dapat beroperasi dengan lancar.
Kalau pemuka agamanya yang langsung terjun di bisnis, bagaimana? Bisnis untuk umat pastinya, mestinya tidak apa. Asal pengelolaan jujur, dan pemuka agama tidak menggunakannya untuk memperkaya diri sendiri.
Jadi, kalau bisa melaksanakan opsi kedua, diharapkan pemuka agama dapat menciptakan umat yang mandiri dan memiliki bisnis yang menyejahterakan umat secara keseluruhan.
***
indrihapsari