Mungkin karena dijajah terlalu lama, sehingga muncul keinginan terpendam untuk tidak lagi melayani, tapi dilayani. Kalau perlu menginjak-injak yang melayani. Et daah…Ngga cuma sekali saya melihat customer yang membentak-bentak orang yang melayaninya dengan senyum dan suara yang lembut. Kilahnya, customer itu raja. Kalau raja, bisa bersikap seenaknya.
Bukannya kebalikan ya? Terbiasa melayani, sehingga seumur hidup maunya melayani?
Itu namanya mengabdi kaleeee…Melayani versi KBBI adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa-apa yg diperlukan seseorang; meladeni. Sedang mengabdi, tingkatannya lebih tinggi lagi, yaitu menghamba; menghambakan diri; berbakti. Kalau melayani bisa terjadi karena dua sebab, yaitu pilihan atau terpaksa, mengabdi sudah pasti adalah pilihan. Dengan sadar dan sengaja menghambakan diri. Bedanya yang lain, jika melayani ada dua kemungkinan hasil, yaitu pamrih dan tidak pamrih, kalau mengabdi tak peduli pamrih. Tahunya ya menyerahkan jiwa dan raga.
Contoh dari pengabdian adalah para abdi dalem di Keraton Ngayogkarta. Dengan gaji yang buat makan saja sudah terasa mustahil, mereka mengabdikan hidupnya untuk melayani Raja dan kerabatnya. Atau para pahlawan yang mengabdi untuk bangsa dan negara. Rela berjuang, bertaruh jiwa dan raga, meski di akhir hidupnya meninggal dengan nelangsa, karena minimnya perhatian dari pemerintah, yang sudah dibela-belain negaranya.
Sedangkan melayani, banyaklah contohnya. Sehari-hari kita sudah dilayani asisten rumah tangga, sopir, petugas fotokopi di kantor, mbak cleaning service, teller bank dan masih banyak lagi. Coba ditanyakan pada mereka, kalau bisa memilih, mau ngga mereka melayani? Saya tebak kebanyakan jawabnya tidak. Dimana-mana ya lebih enak dilayani.
Saya pernah baca novel White Tiger karya Aravind Adiga, tentang kisah seorang India bernama Balram, yang gigih mengubah nasibnya dari seorang pelayan menjadi seorang tuan. Balram sangat disayangi majikannya, Ashok, tetapi tetap bagi Balram yang ia inginkan adalah menjadi tuan yang selalu dilayani. Akhir cerita, Balram mendapatkan keinginannya dengan menggorok leher majikannya.
Sampai segitunya manusia ingin membalik posisinya, dari seorang yang melayani menjadi orang yang dilayani. Mencerminkan bahwa seorang Ndoro (Tuan, dalam bahasa Jawa) merupakan posisi yang diinginkan oleh semua.
Sehingga, saat seseorang memilih menjadi pelayan, padahal dia mampu dan boleh memilih peran sebagai seorang tuan, kita jadi bertanya-tanya, apa sih yang dia cari? Materi, pasti tidak karena lebih besar uang mengalir kalau jadi tuan. Prestige? Kalau saya tanya lebih keren mana pakai dasi, dengan pegang sapu, Anda bisa dengan lugas menjawabnya.
Lalu kenapa memilih merendahkan diri, dari seorang dewa jadi rakyat jelata, dari pemimpin jadi penderita? Kalau ada yang menuduh ‘untuk cari perhatian’, nah sekarang coba saja kita yang punya dugaan itu melakukannya, sanggup ngga? Kenapa pilih cara yang soro (menyengsarakan, dalam bahasa Jawa) untuk mencapai sesuatu? Bukannya lebih enak duduk manis di ruangan berAC, minta asisten undang wartawan dan konferensi pers di restoran?
Jadi, kenapa pilih melayani?
Dugaan saya sih mereka,para orang besar yang memilih turun ke jalan itu ingin memberi teladan. Keadaan di bawah yang terdengar buruk, membuat mereka ingin memberi harapan, dengan mengetahui secara langsung apa yang terjadi. Mereka juga ingin meyakinkan, bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan. Mereka ingin memastikan, persoalan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Lalu apa bedanya dengan pencitraan? Kalau pencitraan, taruhan deh, ngga akan berlangsung lama. Mana betah dia, kan niatannya sudah ngga baik, untuk dapat popularitas saja. Kalau niatannya baik, dia selalu akan merasa penasaran, gimana ya keadaan mereka sekarang? Jadi dia akan melakukannya lagi, lagi dan lagi. Sesuatu yang dari hati, jadi beda eksekusinya.
Lalu, kapan saya bisa melayani?
Dalam lingkup terkecil, kita punya keluarga yang wajib kita layani, bahkan sudah masuk ke ranah abdi. Istri ke suami dan sebaliknya, orang tua ke anak-anak dan sebaliknya, cucu ke kakek nenek dan banyak lagi contoh lainnya. Saat kita makan di restoran fast food, ada baiknya merapikan meja dari remahan-remahan makanan dan mengumpulkannya pada satu nampan, sehingga meringankan tugas masnya. Kalau di negara lain, pengunjung malah harus membuang sendiri segala bekas makanannya. Yah di Indonesia mungkin sulit melakukannya. Selain nanti dianggap aneh, suka buru-buru didatangi masnya untuk mengalihkan tugas tersebut padanya. Bisa karena sungkan, bisa juga karena merasa terancam pekerjaannya. Di Indonesia, orang pada berebut cari kerja. Bahkan petugas yang berdiri di pintu masuk parkir mall, bertugas menekan tombol pada mesin parkir otomatis yang seharusnya dilakukan sendiri oleh pengunjung, kita juga punya! Sungguh sangat berlimpah sumber daya manusia yang ada di negara kita.
Kalau masih mentok juga, tidak ada yang dilayani, paling tidak berikan apresiasi pada mereka yang sudah melayani kita. Entah ucapan terima kasih, pujian, senyuman, menatap matanya (ngga perlu pakai mesra, yang penting jangan lihat BB saja^^), tip atau lainnya atas pelayanan optimal yang mereka berikan.
Kalaupun belum ada kesempatan untuk bisa menjadi pelayan, setidaknya kita bisa coba untuk menjadi Ndoro yang baik.
Sumber gambar: Pribadi dan ada-akbar.com


